Minggu, 09 Oktober 2016

hAksiologi manajemen pendidikan
A. Definisi Aksiologi Manajemen
Menurut Noor (2013:83), secara etimologi aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut Jujun, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Menurut Muhammad Noor Syam (1986) dalam Jalaludin (2007: 84) bahwa aksiologi adalah bidang yang menyelidiki nilai – nilai (value). Nilai dan implikasi aksiologi di dalam ilmu manajemen ialah pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai (nilai tindakan moral, nilai ekspresi keindahan dan nilai kehidupan sosio – politik) di dalam kehidupan manusia.
Pertanyaan yang berkaitan dengan aksiologi adalah apakah yang baik?
Menurut Kattsoff (1987) dalam Torang (2014:105) bahwa aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji hakikat nilai. Aksiologi juga sebagai penuntun dalam menerapkan atau memanfaatkan ilmu. Adapun Bramel dalam Noor (2013:83), membagi aksiologi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Permasalahan aksiologi dalam ilmu manajemen (Noor , 2013:83), adalah:
1.      Sifat nilai atau paras nilai didukung oleh pengertian tentang pemenuhan hasrat, kesenangan, kepuasan, minat, kemauan rasional yang murni, serta persepsi mental yang erat sebagai pertalian antara sesuatu sebagai sarana untuk menuju ke titik akhir atau menuju kepada tercapainya hasil yang sebenarnya. Di dalam mengkaji manajemen berkecimpung tentunya dilandasi dengan hasrat untuk mendapatkan kepuasan.
2.      Perihal tipe nilai didapat informasi bahwa ada nilai intrinsik dan ada nilai instrumental. Nilai intrinsik ialah nilai konsumatoris atau yang melekat pada diri sesuatu sebagai bobot martabat diri (prized for their own sake). Yang tergolong ke dalam nilai intrinsik adalah kebaikan dari segi moral, kecantikan, keindahan, dan kemurnian. Sedangkan nilai instrumental adalah nilai adalah nilai penunjang yang menyebabkan sesuatu memiliki nilai intrinsik.
3.      Penerapan tipe nilai bagi manajemen diarahkan sebagai profesi.
Kriteria untuk menentukan sesuatu sebagai profesi adalah sebagai berikut: 
a)      Para profesional membuat keputusan atas dasar prinsip-prinsip umum. 
b)      Para profesional mendapatkan status mereka karena mencapai standar prestasi kerja tertentu, bukan karena favoritism atau karena suku bangsa atau agama.
c)      Para profesional harus ditentukan oleh suatu kode etik yang kuat.
Dapat disimpulkan bahwa aksiologi itu permasalahaannya mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu kepada permasalahan etika dan estetika. Oleh karena itu, nilai ilmu manajemen tidak hanya bersifat intrinsik sebagai seni, melainkan juga nilai ekstrinsik sebagai ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktik melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam manajemen.
B.     Aksiologi dalam Moral Conduct
Moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta.
Selanjutnya, Suriasumantri mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun S Sumantri merumuskannya kedalam 4 tahapan yaitu:
1.      Untuk apa ilmu tersebut digunakan?
2.      bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
3.      bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
4.      Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral / professional.

Dari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada, kesemuanya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
C.      Aksiologi dalam Esthetic Expresion Manajemen
Terkait dengan nilai etika atau moral, sebenarnya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Nilai menyangkut sikap manusia untuk menyatakan baik atau jelek, benar atau salah, diterima atau ditolak. Dengan demikian manusia memberikan konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari obyek yang dinilainya. Demikian juga terhadap ilmu.
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang kuat. Ilmu bisa jadi malapetaka Estetika berasal dari dari kata Yunani Aesthesis yang berarti pengamatan. Semiawan (2005:159), menjelaskan estetika sebagai the study of nature of beauty in the fine art, yang mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengalaman ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode – mode yang estetis dari suatu pengalaman ilmiah (Susanto 2011:119). 
Kalau estetika dirumuskan cabang filsafat yang berhubungan dengan teori keindahan, maka definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali apa keindahaan itu, sedangkan teori keindahan menjelaskan bagaimana keindahan itu. Persoalan pokok dari teori keindahan adalah mengenai sifat dasar keindahan dari apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda yang indah atau hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda tersebut?
Apa sesungguhnya keindahan itu? Keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu. Kualitas yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), perlawanan (contrast)( The Liang Gie dalam Surajiyo 2014:103).

D.    Penerapan Konsep Estetika dalam Manajemen
Dalam filsafat manajemen, terkandung dasar pandangan hidup yang mencerminkan keberadaan, identitas dan implikasinya guna mewujudkan efisiensi dan efektivitas dalam pekerjaan manajemen. Untuk merealisasikan tujuan diperlukan beberapa faktor penunjang sehingga merupakan kombinasi yang terpadu, baik menyangkut individu maupun kepentingan umum. Hal ini dimaksudkan adanya keseimbangan diantara faktor – faktor yang diperlukan dalam mencapai suatu kekuatan untuk mengejar suatu hasil yang maksimum.
Penerapan fungsi – fungsi manajemen tersebut antara lain:
a)      Diawali dengan tahap Planning (perencanaan), ketika para arsitek merencanakan membuat bangunan perkantoran bertingkat pasti dikaitkan dengan aspek – aspek peruntukannya apa, bagaimana situasi lingkungan, apakah mengganggu keindahan atau malah merusak lingkungan. Yang pasti estetika suatu rancang bangun seharusnya didasarkan pada strategi bisnis perusahaan dan pertimbangan lingkungan. 
b)      Organizing (mengorganisasi), pada tahap ini ada komunikasi antara pemimpin dan manajer dengan para sub-ordinasinya. Ketika terjadi interaksi maka selayaknya kalau manajer memperlakukan sub-ordinasinya dengan cara –cara yang manusiawi. Misalnya pemimpin menyapa karyawan dengan akrab, sehingga akan tercipta suasana kerja yang harmonis dan indah. Pemimpin juga mau mendengar dan merespon positif pendapat sub-ordinasinya. 
c)      Tahap Actuating (pelaksanaan), ketika perusahaan ingin menggapai keunggulan kompetitif maka salah satu unsur yang ingin dicapai adalah pengembangan loyalitas konsumen. Untuk itu perusahaan harus bisa memberikan produk yang bermutu dan layanan yang terbaik kepada konsumen. Secara pengembangan nilai lalu dibangun suatu jembatan emosional antara perusahaan dengan konsumen. Bentuknya adalah tanggung jawab mutu dengan dengan estetika tinggi, pelayanan ramah dan tepat waktu dan konsumen diperlakukan dengan cara aman dan nyaman secara berkelanjutan. Pada gilirannya konsumen akan loyal untuk kembali membeli produk perusahaan tersebut.
d)     Tahap Controlling (pengawasan), dimana pengawasan merupakan tindakan seorang manajer untuk menilai dan mengendalikan jalannya suatu kegiatan demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, tujuan pengawasan adalah memperbaiki kesalahan, penyimpangan, penyelewengan dan kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan rencana. Misalnya apabila ada bawahan yang melakukan kesalahan, pimpinan menegur dengan cara yang baik, tidak emosional dan manusiawi. Sehingga bawahan tidak merasa ketakutan atau tertekan dan selanjutnya dapat memperbaiki kesalahannya. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar