Minggu, 18 September 2016

MAKALAH
PEMBAHASAN
Konseptual dan Anatomi Korupsi UUD
Yudi Imansyah
Rohmi Latifah

A.     Pengertian Korupsi
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun egawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
            Pasal 1 butir 3 Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah sebagai berikut:
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi.
            Dewasa ini peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi adalah Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan tersebut tidak mendefinisikan korupsi secara eksplisit.  Undang-undang No. 20 tahun 2001 hanya mengubah sebagian dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No.31 tahun 1999. Definisi korupsi dapat ditafsirkan melalui ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 peraturan yang lama, yang menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana, …. Berdasarkan ketentuan tersebut maka suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai korupsi apabila memenuhi keseluruhan elemen-elemen sebagai berikut:
1.  Perbuatan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang dilakukan secara melawan hukum;
2.  Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara atau perekonomian negara;
3.      Maka terhadap perbuatan tersebut dikenakan pidana
  Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.      perbuatan melawan hukum,
2.      penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
3.      memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
4.      merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah
1.      memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
2.      penggelapan dalam jabatan,
3.      pemerasan dalam jabatan,
4.      ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
5.      menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah. Pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
B.     Kondisi Yang Mendukung Munculnya Korupsi
1.      Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
2.      Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
3.      Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
4.      Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
5.      Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
6.      Lemahnya ketertiban hukum.
7.      Lemahnya profesi hukum.
8.      Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
9.      Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
Mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123).
Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007)
C.     Bentuk-bentuk Korupsi
            Pengaturan mengenai kategorisasi perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 ini bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang sebelumnya. Berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi  dan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang No. 31 tahun 1999.
Kategorisasi pertama ini lebih mengacu terhadap pelaku tindak pidana korupsi, baik pelaku utama maupun pelaku yang sekedar memberikan bantuan sehingga memungkinkan terjadinya korupsi. Perincian dari kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut:  
1.      Korupsi yang terjadi antara pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan pihak non penyelenggara negara berupa pemberian atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (vide Pasal 5 ayat (1));
2.      Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan yang dapat mempengaruhi putusan perkara, dengancara memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim (vide Pasal 6 ayat (1));
a.       Korupsi yang terjadi di lingkungan kegiatan pemborongan, pembangunan, dan pengadaan barang (vide Pasal 7 ayat (1)).
b.      Penggelapan uang atau surat berharga yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu (vide Pasal 8);
c.       Pemalsuan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang lain selain pegawai  negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secra terus menerus atau sementara waktu (vide Pasal 9);
d.      Gratifikasi (pemberian uang, barang, rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bungan, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan lain sebagainya) yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara berkaitan dengan jabatan dan kewajibannya (vide Pasal 11 dan 12);
e.       Pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri karena jabatan atau kedudukannya (Pasal 13);
f.        Pelanggaran terhadap  ketentuan undang-undang lain baik secara formal maupun materiil yang mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14);
g.       Perbuatan percobaan pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15);
h.       Perbuatan, yang terjadi di dalam wilayah Republik Indonesia, memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16). 
Kategorisasi kedua menitikberatkan pada perbuatan yang berkaitan dengan kategorisasi pertama, sebagai berikut:
a.       Perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi (vide Pasal 21);
b.      Perbuatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (vide Pasal 22);
c.       Pelanggaran terhadap ketentauan dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 442, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (vide Pasal 23).
D.    Anatomi Korupsi
Anatomi (berasal dari bahasa Yunani  anatomia, dari anatemnein, yang berarti memotong) adalah cabang dari biologi yang berhubungan dengan struktur dan organisasi dari makhluk hidup.  
Upaya pemerintah dalam memberantas korupsi melalui pembentukan perundang-undangan dengan tiga kali perubahannya sampai saat ini masih belum menunjukkan tingkat keberhasilan memadai.
Ketidakberhasilan dimaksud dapat dilihat dari empat aspek: hukum, ekonomi, sosial, dan aspek politik. Aspek keberhasilan hukum bukan diukur dari jumlah perkara korupsi yang ditangani KPK dan Kejaksaan Agung setiap tahun, melainkan harus dilihat dari kualitas prosedur yang digunakan dalam menuntut dan menetapkan seseorang sebagai tersangka/terdakwa dan kualitas putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung. Kualitas prosedur saat ini masih belum mencerminkan kepastian hukum dan keadilan, terbukti masih adanya diskriminasi dan arogansi penyidik yang mencemari institusi.
Kualitas putusan pengadilan tidak hanya dilihat dari vonis bebas semata-mata, melainkan pula dari vonis hukuman yang sangat jauh dari keadilan hanya karena kegamangan integritas oleh keberadaan komisi yudisial dan kebebasan pers serta kritik sosial. Selain itu, yang sangat kontroversial dari sudut penemuan keadilan adalah jika putusan majelis hakim hanya demi popularitas semata. Keberhasilan secara kuantitas ipso iure belum berarti keberhasilan secara kualitatif. Sebaliknya, keberhasilan secara kualitatif mutatis mutandis keberhasilan secara kuantitatif.
Dalam konteks aspek ekonomi, keberhasilan secara kuantitatif pemberantasan korupsi tidak   memperkuat pertumbuhan ekonomi karena keberhasilan tersebut telah terbukti tidak berhasil mendorong pemerataan keadilan sosial. Ini terkait celah yang masih menganga untuk ber-KKN di sektor pelayanan publik dan di sektor produksi yang bersentuhan dengan kepentingan rakyat. Dari aspek sosial, tingkat kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi berkorelasi langsung dengan kualitas pelayanan kepada publik di bidang perizinan, empati dan simpati terhadap kejujuran, profesionalisme dan integritas aparat penegak hukum, termasuk hakim.
Kepercayaan masyarakat tidak tergantung pada hiruk-pikuknya LSM menyuarakan ketidakberesan dalam proses penegakan hukum, tapi dipengaruhi oleh tingkat kebenaran dan keabsahan substansi yang disuarakan. Aspek politik, keberhasilan secara kuantitatif pemberantasan korupsi tidak ada pengaruhnya terhadap stabilitas politik, justru sebaliknya, stabilitas politik yang kuat sangat memengaruhi komitmen dan sikap pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Dari keempat aspek tersebut semakin jelas bahwa keberhasilan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak tergantung pada keberhasilan KPK, Kejaksaan Agung atau Kepolisian RI. Keliru pandangan umum yang berkembang bahwa pemberantasan korupsi semata-mata tergantung pada penegakan hukum karena penegakan hukum justru sangat tergantung pada stabilitas ekonomi, stabilitas sosial, dan stabilitas politik.
Bahkan keberhasilan pemberantasan korupsi tidak ada hubungan sama sekali dengan citra pemerintah, jika keberhasilan tersebut ditelikung oleh tindakan amoral, diskriminatif, dan asosial oleh segelintir oknum penegak hukum. Target pemberantasan korupsi yang ditetapkan melalui instruksi presiden (inpres) dalam praktik justru telah menimbulkan ekses penyalahgunaan kekuasaan, arogansi institusional, dan “kering” hati nurani. Bahkan merupakan kebijakan yang keliru jika pencapaian target telah dijadikan alasan untuk promosi, mutasi, dan degradasi jabatan seorang penegak hukum. Diperlukan evaluasi dan koreksi terhadap kebijakan sistem target keberhasilan pemberantasan korupsi di dalam RPJMN 2010–2014, terutama dalam kaitan dampak positif terhadap iklim pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Laporan IMF tentang perkembangan korupsi di Indonesia pada akhir 2010 belum cukup melegakan kita semua karena IMF tidak mempertimbangkan kuantitas keberhasilan menahan dan memenjarakan pelaku korupsi, melainkan IMF hanya mengukur kualitas pelayanan publik di sektor perdagangan dan ekonomi, terutama tingkat kepuasan dan kenyamanan berinvestasi di Indonesia.Kelemahan Strategi
Di mana letak kelemahan strategi Indonesia dalam memberantas korupsi? Kelemahan satu-satunya dan sangat strategis adalah sejak era reformasi pembentukan KPK dan perubahan UU Antikorupsi serta penguatan UU Tindak Pidana Pencucian Uang tidak diimbangi oleh strategi pencegahan yang memadai dan pelaksanaan yang konsisten. Alhasil tidak dapat memberikan hasil segera (quickyielding) dan kontributif terhadap keberhasilan langkah hukum represif.
Akibat kelemahan ini maka keberhasilan pemberantasan korupsi di hilir tidak mutatis mutandis refleksi keberhasilan di hulu. Ketimpangan dan kesenjangan dua strategi di atas menyebabkan rencana dan implementasi strategi pemberantasan korupsi nasional selama ini terjebak dalam lingkaran ketidakberhasilan yang tidak berujung (unending circle of unsuccessful result) dan otomatis telah menghabiskan waktu dan anggaran yang tidak efisien dan efektif. Keberhasilan yang telah dicapai selama ini belum mencerminkan suatu strategi yang bersifat sistemik, terencana, dan komprehensif.
Yang terjadi selama ini adalah keberhasilan sesaat dengan metode ”terapi kejut”, yaitu dengan mengusung kasus korupsi penyelenggara negara yang menarik perhatian masyarakat dan ekspose melalui media nasional. Sistem terapi kejut, sesuai namanya, juga akan menghasilkan “kejutan sementara” tapi tidak mencerminkan tujuan mulia dari pemberantasan korupsi itu sendiri. Target menciptakan iklim birokrasi yang sehat dan bebas KKN yang memberikan dampak nyata terhadap kesejahteraan rakyat—bukan sekadar tontonan murahan—masih jauh.
Selain evaluasi dan koreksi terhadap strategi nasional pemberantasan korupsi, perlu pula dilakukan dengan mempertimbangkan sistem penegakan hukum dalam kasus korupsi di negara-negara maju seperti di AS, Inggris, dan beberapa negara Uni Eropa. Begitu pula perbandingan ke negara-negara di Asia seperti China merupakan langkah yang tepat untuk dijalankan segera. Tingkat keberhasilan pemberantasan korupsi level internasional terbanyak diraih oleh negara-negara yang telah melaksanakan pelayanan publik secara transparan, akuntabel, dan dijalankan oleh aparat birokrasi yang memiliki integritas tinggi— diperkuat dengan tingkat kesejahteraan aparat birokrasi yang memadai.
Kekuatan negara maju dan keberhasilannya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi telah dilengkapi dengan pendekatan baru penegakan hukum, yaitu pendekatan analisis ekonomi yang menitikberatkan pada tiga komponen yaitu, “maximization, equilibrium, and efficiency” (Cooter dan Allen, 2004). Keberhasilan penerapan ketiga komponen utama analisis ekonomi tersebut di negara maju telah menghasilkan ketentuan baru mengenai “injunction” dalam penanganan perkara tindak pidana suap (bribery) seperti dalam kasus Monsanto (2007) dan kasus Innospec (2010) yang diduga telah melakukan suap terhadap pejabat di Indonesia.
Sistem “injunction” hanya menjatuhi denda administratif tanpa penuntutan pidana, dan hanya mewajibkan tersangka memenuhi syarat antara lain bersedia diaudit manajemen perusahaan dan restrukturisasi manajemen. Ketidakpatuhan terhadap syarat tersebut diancam pidana penjara dan pidana denda serta pencabutan izin usaha. Pendekatan ini pula yang telah menghasilkan ketentuan baru tentang “transaksi” di dalam KUHP Belanda (1996). Transaksi itu adalah diskresi kepada jaksa penuntut umum untuk melakukan negosiasi tidak melakukan penuntutan.
Syaratnya, terdakwa bersedia memberikan kompensasi terhadap korban atau terdakwa bersedia harta kekayaannya yang berasal dari tindakan pidana dan setara dengan kerugian yang diderita oleh negara atau korban disita, atau terhadap tindak pidana dengan ancaman di bawah 6 tahun atau terhadap terdakwa lanjut usia di atas 60 Tahun. Pola pendekatan analisis ekonomi juga telah diterapkan di dalam KUHP Jepang dan Thailand. Di Thailand, korban juga diberi hak oleh undang-undang dalam tindak pidana tertentu untuk turut menentukan dilanjutkan atau tidaknya proses penyidikan dan penuntutan.
Selain keseimbangan dua strategi pemberantasan korupsi di atas, diperkuat juga dengan ketiga komponen utama pendekatan analisis ekonomi bagi Indonesia yang masih memerlukan perubahan paradigma dalam sistem peradilan pidana, yaitu dari paradigma keadilan retributif kepada paradigma keadilan rehabilitatif dan restoratif. Ujung penentu keberhasilan pendekatan analisis ekonomi dalam pemberantasan korupsi adalah perilaku hakim yang memeriksa dan memutus perkara korupsi harus mengedepankan pendekatan teori ekonomi daripada semata-mata pendekatan teori legalistik-positivistik (Posner, 2008).
Saran-saran perubahan strategi pemberantasan korupsi dengan pendekatan analisis ekonomi yang dilandaskan pada ketiga prinsip tersebut sudah tentu memerlukan kajian mendalam dengan mempertimbangkan faktor sosiologis, psikologis, politik, ekonomi, dan budaya Indonesia. Namun harus juga diingat, saran-saran perubahan strategi ini merupakan hasil pengamatan sejak perubahan UU Nomor 3 Tahun 1971 sampai dengan perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Selain itu, saran-saran tersebut merujuk pada pengalaman buruk kinerja pemberantasan korupsi sejak pemberlakuan undang-undang tersebut dibandingkan dengan dampak positif dan konstruktif. Indikatornya bukan hanya keberhasilan memenjarakan sejumlah koruptor besar dan kecil, melainkan dampak positif terhadap iklim pembangunan nasional, terutama pembenahan dan peningkatan pembangunan ekonomi nasional di tengah-tengah persaingan ekonomi internasional.
Pertanyaan yang selalu muncul dari hasil pengamatan penulis adalah, mengapa banyak instrumen internasional dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi—termasuk pencucian uang—tapi selalu disertai sikap inkonsisten negara-negara maju yang notabene pengusul inisiatif instrumen internasional tersebut dalam menerapkannya ke dalam sistem hukum nasional masing-masing? Bahkan sikap inkonsisten ini juga ditunjukkan dalam kerja sama internasional khusus pengalaman buruk upaya pengembalian aset hasil korupsi yang pernah dialami oleh Nigeria, Filipina, Afrika Selatan, juga Indonesia.
Sikap umum negara berkembang yang selalu taat dan berkomitmen terhadap konvensi internasional dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional, termasuk korupsi dan pencucian uang, sering tidak diimbangi oleh konsistensi sikap dan komitmen kuat dan sungguh-sungguh dari negara-negara maju untuk mendukung keberhasilan pengembalian aset hasil tindak pidana khusus korupsi, dengan alasan perbedaan sistem hukum. Atas dasar pengamatan dan pengalaman ini pula dapat dikatakan bahwa semakin kencang tekanan menerapkan paradigma retributif dalam pemberantasan korupsi dan pencucian uang dan semakin longgar kerahasiaan bank untuk tujuan tersebut maka semakin besar peluang (sudah menjadi kenyataan) pelaku membawa kabur hasil jarahannya ke negara-negara maju yang notabene adalah pengusul inisiatif konvensi internasional tersebut di atas.
Sebaliknya yang terjadi justru di negara maju itulah harta kekayaan hasil jarahan menikmati “perlindungan hukum” dan kenyamanan untuk berbisnis dengan “uang haram” yang di Indonesia dicari-cari sampai mati. Kontradiksi baik ipso iure dan ipso facto sebagaimana diuraikan di atas seharusnya juga menjadi bahan pertimbangan saran perubahan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia untuk lima tahun mendatang. Mumpung belum terlambat dan kebablasan.




BAB III
KESIMPULAN
Korupsi sesungguhnya merupakan masalah sistemik, bukan sekedar masalah moralitas seperti anggapan kebanyakan orang. Mustahil korupsi mendapatkan pintu masuk tanpa adanya praktek monopoli kekuasaan yang disertai dengan kewenangan yang tidak terbatas. Jalan tersebut semakin lapang ketika upaya transparansi dan akuntabilitas tidak dindahkah. Sehingga partisipasi setiap warga masyarakatpun, menjadi tidak berjalan dalam upaya mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Masyarakat pada akhirnya dikunci dalam kebudayaan bisu (cuture silent), yang tidak dapat berbuat apa-apa, meski penyelewengan terjadi dimana-mana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar