Minggu, 25 September 2016

ISU ISU KEBIJAKAN PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Persoalan mendasar dalam pendidikan pada zaman tekhnologi dan informasi sekarang ini di pandang sebagai problem yang sangat luar biasa sulit di berbagai negara. Sekalipun demikian, negara-negara yang peduli terhadap masalah ini mengakui bahwa pendidikan merupakan tugas negara yang maha penting. Pendidikan merupakan kunci dalam membangun dan memperbaiki sikap individu  dalam menghadapi keadaan dunia yang terancam oleh berbagai otensi bencana yang mungkin diawali oleh pemanasan global. Tanpa kunci itu, usaha tersebut akan gagal.
Dalam konteks tersebut, setiap negara terus melakukan peningkatan pendidikan masing-masing. Misalnya, melakukan perubahan sistem pendidikan guna mencapai kualitas atau mutu pendidikan yang terus menerus menuju ke arah lebih baik. Hal ini perlu diupayakan secara serius dan fokus karena peradaban masyarakat bangsa Indonesia ditentukan oleh cara pendidikan dijalani oleh masyarakat.
Cara dan sistem pendidikan yang sudah berakar dalam dan bertahan lama di negeri ini membutuhkan reformasi pendidikan secara menyeluruh. Dalam konteks ini, pemerintah mencoba memotong kompas dengan gagasan untuk menyamaratakan mutu pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, upaya ini sering menjadi sasaran kritik dan kecaman karena belum meratanya taraf kehidupan di tiap-tiap wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, pemerataan standar pendidikan yang mengacu pada standar nasional harus dilaksanakan secara bertahap . sesuai dengan taraf kehidupan masyarakat di tiap-tiap wilayah.
Pengambilan kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah tentu harus disesuaikan dengan kondisi dan tuntutan perkembangan jaman, dalam pengambilan kebijakan pemerintah harus mempertimbangkan berbagai paktor ytang terkait dan mempertimbangkan isu isu terutama isu isu tentang kebutuhan pendidikan di tengah tengah masyarakat.disamping itu, isu utama pendidikan saat ini adalah urgensi dari pemerataan pendidikjan di seluruh wilayah Negara kesatuan republic Indonesia  baik dari segi kualitas mapun kuantitas pendidikan. Oleh karena itu, pemaparan di atas yang menjadi latar belakang utama kami dalam membahas isu isu kebijakan pendidikan, karena hal ini dipandang penting untuk dipelajari dan dipahami oleh mahasiswa manajemen pendidikan islam pada khususnya dan seluruh pelajar serta masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah Konsep Dan Tori Kebijakan Pendidikan?
2.      Bagaimanakah Konsep Isu Isu Kebijakan Pendidikan?
3.      Bagaimanakah Relitas Isu Isu Kebijakan Pendidikan Di Indonesia?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mempelajari Konsep Dan Tori Kebijakan Pendidikan
2.      Untuk Memahami Konsep Isu Isu Kebijakan Pendidikan
3.      Untuk Mengetahui Relitas Isu Isu Kebijakan Pendidikan Di Indonesia























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Isu Isu Kebijakan
1.      Pengertian Isu Isu Kebijakan
Isu kebijakan public sangat penting dibahas untuk membedakan istilah yang dipahami awamdalam perbincangan sehari hari, yang sering di artikan sebagai kabar burung. isu dalam sebuah kebijakan memiliki lingkup luas, yang meliputi berbagai persoalan yang ada ditengah tengah masyarakat. Oleh karena itu, memahami konsep isu sangat membantu para analis untuk menganalisis kebijakan public.
Isu kebijakan (polici isues) lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat diantara para actor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan isu dapat diartikan sebagai problema public yang saling bertentangan (konflik) satu sama lain (controversial public problem).
Dengan demikian, isu kebijakan public merupakan produk atau dari adanya perdebatan baik tentang perumusan perincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Dunn (1995) menyatakan bahwa isu kebijakan tidak hanya mengandung ketidak sepakatan mengenai arah tindakan yang actual dan potensial, tetapi juga mencerminkan pertentangan dan pandangan mengenai sifat masalahnya. dengan demikian, isu kebijakan merupakan hasil perdebatan tentang devinisi, klasipikasi, eksplanasi,  dan evaluasi masalah.
Pada sisi lain, hogwood dan gun (1972) menegaskan bahwa isu bukan hanya mengandung makna adanya masalah atau ancaman, melainkan juga peluang peluang bagi tindakan positif tertentu dan kecenderungan yang dipersepsikan memiliki nilai potensial yang signifikan. isu merupakan kebijakan alternative (alternative policies) atau suatu proses yang dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok mengenai kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka (alford dan friedhan 1997)




2.      Peringkat Isu Isu Kebijakan
Berdasarkan peringkatnya, menurut dunn (1995) isu kebijakan public secara berurutan dapat dibagi menjadi empat katagori besar yaitu :
a.      Isu utama
Isu utama(bojar isues) secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi di dalam atau diantara jurisdiksi/wewenang pedral, negara bagian dan local. Isu isu utama secara khusus meliputi pertanyaan tentang misi suatu instansi yaitu pertanyaan tentang sifat dan tujuan organisasi pemerintah. Isu seperti apakah kementrian pendidikan dan pelayanan masyarakat harus berusaha menghilangkan kondisi yang menimbulkan kemiskinan adalah pertanyaan mengenai misi lembaga.
b.      Isu sekunder
Isu sekunder (sekundary usues) adalah isu yang terletak pada tingkat instansi pelaksana program di tingkat pemerintahan fedral, Negara bagian, dan local. Isu ini dapat berisi isu prioritas program dan definisi klompok sasaran dan penerima dampak.  Isu mengenai cara mendefinisikan kemiskinan keluarga adalah isu yang kedua.
c.       Isu fungsional
Isu fungsional (functional isues) terletak di antara tingkat program dan proyek, serta memasukan pertanyaan yang mengacu pada masalah anggaran, keuangan dan usaha untuk memperolehnya.
d.      Isu minor
Isu minor (minor isues) adalah isu yang ditemukan paling sering pada tingkat proyek yang spesifik. Isu minor meliputi personal, staf, keuntungan bekerja, waktu liburan, jam kerja, dan petunjuk pelaksanaan dan peraturan

3.      Pentingnya Isu Kebijakan Untuk Dicermati
a.    Alasan isu kebijakan penting untujk dicermati
Menurut wahab (2001) isu kebijakan mencakup hal hal berikut
1.      Proses pembuatan kebijakan publik  di sistem politik mana pun lazimnya berangkat dari adanya tingkat kesadaran tertentu atas suatu masalah atau isu tertentu
2.      Derajat keterbukaan, yaitu tingkat relatif demokratis atau tidaknya suatu sistem politik di antaranya dapat di ukur melalui mekanisme mengalirnya isu menjadi agenda kebijakan pemerintah dan pada akhirnya menjadi kebijakan public.
Selanjutnya cara kreteria isu dapat menjadi agenda kebijakan antara lain;
1.      Isu isu akan menjadi awal dari mulculnya masalah masalah public dan apabila masalah tersebut mendapat perhatian yang memadai, akan masuk dalam agenda kebijakan;
2.      Suatu isu tidak serta merta masuk menjadi agenda kebijakan karena masalah kebijakan mencakup dimensi yang luas. Isu isu yang beredar dalam masyarakat akan bersaing satu dengan yang lain untuk mendapatkan perhatian para elite politik sehingga isu yang diperjuangkan dapat masuk ke agenda kebijakan.
Jack L walker (1982) menyatakan bahwa suatu masalah dapat tampil menjadi masalah publik, apabila:
1.      Isu tersebut mempunyai dampak yang besar pada banyak orang
2.      Ada bukti yang meyakinkan agar lembaga legislative memerhatikan masalah tersebut sebagai masalah yang serius
3.      Ada pemecahan yang mudah dipahami terhadap masalah yang sedang diperhatikan.

b.      Kriteria pembagian isu strartegis
Pada sisi lain, abiding (2004; 107) menambahkan bahwa masalah public dapat dibagi kedalam masalah strategis dan masalah yang tidak strategis (taktis0. Masalah strategis memenuhi syarat syarat berikut
1.      Luas cakupanya. Artinya, wawasan wcakupanya tidak hanya meliputi satu sector atau satu wilayah tetapi juga meliputi beberapa sector/wilayah
2.      Jangka waktunya panjang. Pengertian ini erat hubunganya dengan tujuan dari perencanaan jangka panjang. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa penyelesaian masalah memerlukan waktu yang panjang dan dampak yang ditimbulkan mempunyai akibat yang jauh kedepan.
3.      Mempunyai keterkaitan yang luas. Substansi permasalahan dan cara cara penyelesaianya menyangkut banyak pihak dalam masyarakat.
4.      Mengandung risiko dan keuntungan yang besar. Rugi yang ditimbulkan atau hasil yang mungkin diperoleh akibat dari penanganan masalah tersebut cukup besar, baik dalam nilai uang maupun nilai sosial lainya yang tidak dapat dinilai dengan uang.



B.     Isu isu krisis kebijakan pendidikan; kategori standar nasional pendidikan (SNP)
1.      Pengertian Standar Nasional Pendidikan
Menurut peraturan pemerintah nomor 19 tahgun 2005 bab 1 pasal 1 ayat 1, yang dimaksud standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah hukum Negara kesatuan republic Indonesia. Dengan kata lain, setiap lembaga pendidikan dituntut untuk memenuhi kriteria minimum yang telah ditentukan. Hal tersebut dilaksanakan agar tujuan pemerataan pendidikan diseluruh wilayah hokum Negara kesatuan republik Indonesia.
2.      Substansi Kebijakan Standar Nasional Pendidikan
Dalam pelaksanaan peningkatan mutu pendidikan, harus ada yang menjamin dan mengendalikan mutu pendidikan sehingga sesuai dengan standar nasional pendidikan. Pemerintah melakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Ketiga proses ini dilaksanakan untuk menentukan layak tidaknya lembaga pendidikan yang berstandar nasional.
3.      Tujuan standar nasional pendidikan
Standar nasional pendidikan bukan hanya bertujuan memeratakan standar mutu pendidikan di Negara kesatuan republic indonesdia, melainkan juga untuk memenuhituntutan perubahan local, nasional, dan global. Karena mutu pendidikan di Indonesia telah jauh tertinggal dari Negara asean yang lain, peningkatan pada segi pendidikan akan terus terjadisehingga mutu pendidikan di Indonesia dapat bersaing dengan yang lain.

C.     Lingkup standar nasional pendidikan (SNP)
Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 ada 8 standar yang menjadi sorotan dalam melaksanakan standar nasional pendidikan yaitu:
1.      Standar isi
Standar isi adalah ruanglingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kreteria kompetensi tamatan, kompetensi kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Standar isi mencakup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Setiap jenjang memiliki kompetensi yang berbeda, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Dalam standar isi termuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kalender pendidikan/akademik, yang berguna untuk pedoman pelaksanaan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
2.      Standar proses
Standar proses adalah standar nasional pendidikanyang berkaitan dengan proses pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.proses pembelajaran seharusnya dilaksanakan secara intraktif, insfiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisifasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat danperkembangan fisik serta psikologis peserta didik.hal tersebut sangat membantu dalam perkembangan akal dan mental pesertadidik.
3.      Standar kompetensi lulusan
Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, keterampilan. Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilayan dalam dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
Setiap jenjang kelulusan memiliki kompetensi dasar yang berbeda. Mulai dari pendidikan dasar yang hanya bertujuan meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut, sampai jenjang perguruan tinggi yang bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berahlak mulia,  memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi, dan seni yang bermartabat bagi kemanusiaan
4.      Standar pendidik dan ketenaga pendidikan
Standar pendidik dan tenaga kependidikan kreteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik ataupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademis dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi para pendidik, diantaranya:
a.       Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
b.      Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendiikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
c.       Sertifikat profesi guru untuk jenjang yang dia geluti

5.      Standar sarana dan prasarana
Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kreteria minimal tentang ruang belajar, berolahraga, tempat beribadah, oerpustkaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermaintempat berkreasi,serta sumber belajar lain,
Setiap lembaga pendidikanwajib memiliki sarana dan prasarana yang telah ditentukan. Adapun sarana tersebut antara lain meliputi prabot pralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar, lainya. Bahan habis pakai serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Prasarananya antara lain lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, ruang beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
6.      Standar pengelolaan
Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satua pendidikan, kabupaten, kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Sedangkan pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi merupakan otonomi perguruan tinggi, yang dalam batas batas yang di atur dalam ketentuan perundang undangan yang berlaku mendorong kebebasan dan mendukung kemandirian dalam pengelolaan akademik, oprasional, personalia, keuangan dan area fungsional kepengelolaan lainya yang di atur oleh masing masing perguruan tinggi.
7.      Standar pembiayaan
Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya oprasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Ada tiga maca biaya dalam standar ini yaitu;
a.       Biaya inventaris satuan pendidikan yaitu biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan model kerja tetap.\biaya personal sebagaimana adalah lembaga pendidikanyang harus dikeluarkan oleh pesertadidikimyik biaya proses pelaksanaan pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.biaya oprasional satuan lembaga pendidikan meliputil
1.      Gaji dan tunjangan pendidikan dan tenaga kependidikan
2.      Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai
3.      Biaya oprasi pendidikan tidakj langsung seperti air, sarana dan prasarana pajak asuransi dan lain sebagainya.

8.      Standar penilayan pendidikan
Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur dan instrument penilaian hasil belajar pesetadidik. Penilaian dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester dan ulangan kenaikan kelas.

D.    Muatan Isu Kritis Dalam Standar Nasional Pendidikan
Seiring dengan disahkannya Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, terjadilah perubahan sistem pendidikan nasional untuk mencapai standar minimum yang telah ditentukan pemerintah. Di samping itu, terjadi  penolakan Standar Nasional Pendidikan.
Adapun beberapa alasan yang menyebabkan belum layaknya Standar Nasional Pendidikan diterapkan secara nasional adalah sebagai berikut.
1.      Pertumbuhan Ekonomi Yang Tidak Merata Di Setiap Daerah
Kenyataan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berandil besar dalam perkembangan aspek kehidupan lain, tidak terkecuali pendidikan. Di daerah yang memiliki hasil alam tinggi, perkembangan pendidikannya tidak sesuai dengan harapan. Walaupun sudah dikeluarkan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (OTDA), pembangunan dalam bidang pendidikan masih tidak menentu karena sifat pemerintah pusat tidak mempersiapkan sumber daya untuk menjalankan sistem pendidikan yang sekarang sedang berjalan. Dengan demikian, pemerintah pusat terkesan setengah-setengah dalam pemberian wewenang untuk mengurusi pendidikan di daerah.
Murip Yahya (2009:80) menyatakan bahwa pada dasarnya otonomi daerah memberikan peluang kepada pengelola pendidikan untuk mengembangkan lembaga pendidikan, antara lain :
a.       Merumuskan tujuan institusi yang megacu pada tujuan nasional
b.      Merumuskan dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan tujuan dan kebutuhan masyarakat suatu daerah.
c.       Menciptakan situasi belajar dan mengajar yang mendukung pelaksanaan dan pengembangan kurikulum yang telah ditetapkan.
d.      Mengembangkan sistem evaluasi yang tepat dan akurat, baik dari prestasi siswa maupun penyelenggaraannya.
2.      Sarana Fisik Yang Kurang Memadai
Masih banyak sekolah dan perguruan tinggi yang keadaan gedugnya tidak layak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, koleksi buku perpustakaannya kurang lengkap, penggunaan teknologi informasi yang kurang memadai dan sebagainya.
Balitbang Depdiknas (2003) memparkan data untuk tingkat SD yang terdiri atas 146.052 lembaga dan menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas, hanya 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, sedangkan 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan, dan sebanyak 201.237atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Keadaan ini juga terjadi di SMP,MTs, SMA, MA dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
Sebagai contoh adalah pendidikan di Papua yang sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan ulau Jawa. Pengadaan sarana dan prasarana di Papua tidak sesuai kebutuhan sehingga peningkatan mutu pendidikan didi sana sangat lambat. Seharusnya pemerintah lebih memerhatikan  daerah tertinggal (desa) daripada mengurusi pendidikan di daerah maju (kota) yang lebih dapat dipantau. Hal ini akan lebih memudahkan pemerintah dalam menyukseskan program pemerataan pendidikan yang berpaku pada Standar Nasional Pendidikan (SNP)

3.      Pendidikan Tidak Bebas Nilai
Menurut Sukarno (2005), kebijakan pendidikan akhir-akhir ini lebih banyak ditandai oleh upaya penyesuaian struktural yang bentuk penyesuaian strukturalnya sering bersumber pada pilihan aliran-aliran politik pendidikan dan pilihan teknokratis yang mungkin.
Orientasi pendidikan yang dipilih secara formal adalah seperti yang termaktub dalam UUD “mencerdaskan bangsa” dan mengembangkan potensi manusia Indonesia seutuhnya dan seluruhnya (UU 20/2003 Sisdiknas). Sekalipun demikian, perwujudan Mendiknas secara secara retorik dan kebijakan Depdiknas atas orientasi itu tampaknya menekankan politik eklektis (antara neo-konservatisme dan progresif humanistik dan sedikit orientasi radical education), kendati mencobamenghapus kenangan “sekolah pembangunan” yang pernah dimunculkan pada zaman Orde Baru.
Mendiknas mencoba mengakomodasi pertentangan  orientasi politik pendidikan sehingga lebih bersifat eklektis-politis, mengambil elemen-elemen yang layak dipilih secara politis sehingga dapat disejajarkan dengan kebijakan politik yang sangat populer pada era reformasi, yaitu tentang otonomi daerah.
Nada humanistis tersebut terlihat pada kutipan, (Mendiknas akan membawa paradigma pendidikan kita tidak sekadar menempatkan manusia sebagai alat produksi. Manusia harus dipandang sebagai sumberdaya yang utuh. Ia tidak ingin terjebak pada teori ekonomi neo-klasik, teori yang menempatkan manusia sebagai alat produksi, dimana penguasaan iptek bertujuan menopang kekuasaan dan kepentingan kapitalis. “Saya akan membawa pendidikan sebagai proses pembentukan manusia Indonesia seutuhnya” (Kompas, 22/10).
Selanjutnya, Sukarno (2005) menyatakan bahwa dilihat dari tantangan besar yang terbentang di atas, tampaknya Depdiknas masih terlalu disibukkan pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan structural adjustment sehingga seakan-akan belum sempat mempersiapkan kerangka pendidikan yang tepat dan mempersiapkan gurunya secara baik untuk menyongsong masalah diatas, yaitu mengembangkan pembelajaran yang humanis-demokratis serta membangun lembaga partisipasi publik.

4.      Paradigma Perubahan
Kekhawatiran menonjol yang berkaitan dengan upaya peningkatan mutu, antara lain menyangkut lemahnya perbaikan mutu guru dan materi didik, serta metode pembelajaran (yang masih tradisional, khususnya untuk tujuan demokratisasi) dan lemahnya sistem evaluasi dan orientasi efisiensi eksternal, khsusnya relevansinya dengan kebutuhan demokratisasi masyarakat dan pengembangan dunia usaha.
Rencana perbaikan kesejahteraan guru (sesuai UU Guru), sertifikasi tenaga kependidikan dan akreditasi lembaga pendidikan adalah langkah maju. Akan tetapi, belum diketahui apakah ketiga rencana tersebut lebih membantu atau sebaliknya memojokkan sekolah/madrasah yang lemah, terutama swasta, disamping apakah akan lebih mendesakkan tolak ukur lingkungan sekolah yang demokratis dan pemahaman/kemampuan guru untuk mengembangkan kesetaraan, toleransi, terutama solidaritas melaluiproses belajar. Pertanyaan ini penting karena mewabahnya lingkungan pendidikan eksklusif, bisa kelas ekonomi dan kurang pluralistis.
Demikian pula, kendati otonomi daerah/sekolah telah memunculkan inisiatif untuk mengembangkan program pendidikan atau ekstrakurikuler (misalnya life skill), inisiatif itu tampaknya lebih di dorong oleh ketersediaan guru/pelatihnya atau bahkan semata-mata keinginan sekolah/daerah untuk mendapatkan input tambahan, daripada didasari oleh kajian potensi dan prospek ekonomi daerah yng matang (efisiensi eksternal). Pada pihak lain, khususnya ekolah kejuruan dan pendidikan uar seolah, on-the job training dan standarisasi organisasi profesi serta sertifikasi pelatihanyya belum tertata dengan baik, sehingga kurang memberikan keyakinan tentang tingkat kualitas lulusannya bai calon penggunanya.
Dengan membandingkan kendala (kekhawatiran) terhadap upaya pemerataan dan kendala (kekhawatiran) terhadap upaya peningkatan mutu di atas, jelas bahwa penanganan trade-off antara keduanya merupakan masalah yang krusial.
Kendati dalam desain pemerintah, keduanya diharapkan akan berjalan seiring (merata dan meningkat mutunya) secara umum terdapat prognosis bahwa lemahnya kemampuan pendanaan untuk pemerataan peningkatan mutu dan manajemen oleh pemerintah. Realitas politik daerah dan persaingan antar (otonomi) sekolah/madrasah memperebutkan akses politik dan daya masyarakatnyalah yang lebih menentukan pemerataan vis avis peningkatan mutu pendidikan kita.
Dinamika yang sekarang terlihat adalah ketik pemerintah sedikit saja melepas bagian tubuh pendidikan ke daerah dan pasar, bagian itu direbut (otonomi) sekolah yang lebih kuat dan dijadikan komoditas yang sah. Ak ini memperlebar kesenjangan yang ada dan pendidikan “bermutu” akan lebih dinikmati kelompok mampu, kecuali pemerinah meningkatkan kemampuan (terutama dana) dan komitmennya untuk meredam hal tersebut.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan komitmen pada saat ini menurut Sukarni (2005), diibaratkan dua “telur” yang mendesak untuk dibuat dan pertanyaannya saat ini adalah sebagai berikut.
a.       Apabilla negara belum mampu berperan sebagai equalizing factor, apakah civil society (lembaga sosial kependidikan di masyarakat) setelah menghadapi kebijakan negara yang terkesan kurang menekankan partnership seperti diatas, masih dapat berperan emansi patorik atau ikut menjadi penjual komoditas pendidikan untuk mempertahankan hidupnya?
b.      Apakah dalam dinamika seperti ini, sistem pendidikan kita telah tereduksi menjadi alat legitimasi pemilah kelas sosial (sorting mechanism) dan alat reproduksi tata hubungan (kuasa) sosial-ekonomi belaka?
c.       Apabila jawabnya “ya” di tengah pasang naik peran pasar dan lemahnya peran negara untuk emansipasi kelompok yang lemah, diperlukan peran partisipasi/solidaritas publik (dan civil society)melalui lembaga yang kuat untuk mengawal sistem pendidikan kita.

5.      Lemahnya Mental Masyarakat
Firza Imam Putra (2009) menyatakan bahwa lebih dari 1,1 jut anak memilih berhenti belajar di sekolah selama tahun 2007. Artinya, setiap menit ada 4 anak putus sekolah di Indonesia. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya angka putus sekolah itu adalah dorongan orangtua dari keluarga tidak mampu. Dengan kondisi demikian, anak kemudian dikondisikan untuk mencari uang dan menambah penghasilan kelurga.
Masaalah besar lainnya adalah kontroversi diadakannya Ujian Nasional (UN) (Erin Driani, 2009). Senada dengan hal itu, M. Yunana Yusuf (2007), menyatakan bahwa untuk tahun pelajaran 2006/2007, peserta UN diperkirakan berjumlah 4.701.000 orang, dengan perincian peserta SMP/MTS dan SMPLB 2.501.300 orang dan peserta SMA/MA/SMALB dan SMK 2.200.700 orang. Sementara luas kawasan penyelenggaraannya meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, penyelenggaraan UN merupakan satu pekerjaan raksasa dengan menghabiskan dana Rp 244 Miliar yang didekonsentrasikan ke dinas provinsi, kabupaten/kota serta sekolah/madrasah penyelenggara UN.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
a.       Solusi sistematis dapat diterapkan , yaitu solusi dengan mengubah sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui bahwa sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia saat ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme yang berprinsip meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan serta penataan kembali undang-undang yang telah ada, sehingga sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia.
b.      Standar pendidikan nasional harus diterapkan bebas nilai, bukan dengan memuat muatan politik praktis melalui pemberian wewenang yang jelas dan pada elemen pendidikan yang tepat.
c.       Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan pada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Mutu guru sarana fisik yang kurang memadai misalnya, diberi solusi dengan pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan belajar dan mengajar.
d.      Standar nasional pendidikan harus diterapkan secara total dan benar sesuai konsep, harus melalui strategi advokasi yang tajam, dan komitmen stakeholder secara menyeluruh. Selain itu, dilakukan sosialisasi bagi komponen pendidikan dari tingkat nasional, provinsi hingga daerah kabupaten/kota, lembaga swadaya masyarakat dari masyarakat.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan kinerja pelayanan pendidikan agar dapat mencapai standar pendidikan nasional, terdapat dua agenda yang perlu dipikirkan dalam pengimplementasiannya, yaitu sebagai berikut.
a.       Pelaksanaan desentralisasi politik pendanaan sampai ke tingkat sekolah yang telah meningkatkan partisipasi finansial masyarakat sudah waktunya diimbangi pelaksanaan desentralisasi politik pendidikan sampai tingkat masyarakat sesuai UU Sisdiknas (pasal 9), melalui komite sekolah dan Dewan Pendidikan.
b.      Kebijakan yang selama ini lebih menekankan input sudah saatnya diimbangi secara bertahap dengan kebijakan yang menekankan juga output dan efisiensi eksternal melalui upaya perbaikan mutu guru dan penden yang mewakili publik (sesuai pasal 11) yang mendesak untuk segera dibentuk sehingga perbaikan kurikulum berjalan selaras dengan asas manajemen mutu.



E.     Isu Isu Kebijakan Pendidikan
1.      Pemerataan dan perluasan akses
Program pemerataan dan perluasan akses akan dilakukan dengan mengupayakan menarik semua anak usia sekolah yang sama sekali belum pernah sekolah, menarik kembali siswa putus sekolah, dan lulusan yang tidak pernah melanjutkan pendidikan. Berbagai kegiatan berikut akan dilaksanakan dalam rangka melaksanakan program pemerataan dan perluasan.
      Pemberian bantuan biaya oprasional pendidikan diberikan dalam rangka membantu sekolah mencapai proses pembelajaran secara optimal.bantuan pembiayaan tida membedakan sekolah negeri maupun swasta, madrasah maupun sekolah umum. Target pada tahun 2009 siswa pada satuan dikdas memperoleh bantuan biaya oprasiona.
Penyediaan perpustakaan, buku teks pelajaran maupun non teks pelajaranyang tidak membedakan baik sekolah negri, maupun suwasta, sekolah umum maupun madrasah. Target pada tahun 2009 diharapkan setiap siswa pada satuan pendidikan memperoleh buku teks pelajaran maupun non teks pelajaram.
Rehabilitasi ruang kelas yang rusak, merupakan upaya melakukan penyediaan sarana penunjang pendidikan yang layak untuk pendidikandasar. Target rehabilitasi pada tahun 2007 mencapai sekitar 200 ribu ruang kelas yang rusak berat dan 200 ribu ruang yang rusdak ringanpada sd; sekitar 9500 ruang kelas yang rusajk beratdan lebih dari 23 ribu ruang kelas rusak ringan pada smp.
Unit sekolah baru dan rkb, penyediaan prasarana pendidikan termasuk pembangunan unit sekolah baru (usb) dan ruang kelas baru (rkb) juga dipayakan dalam rangka pemerataan dan perluasan ditingkat smp/mts untuk menampung peningkatan jumblah lulusan sd, juga dilakukan dengan memanfaatkan layanan pendidikan yang sudah ada.
Penyelenggaraan kelas layanan khusus disekolah dasar, merupakan layanan pendidikan bagi anak usia sekolah dasar (7-12) yang putus sekolah atau sama sekali belum pernah sekolah dasar sampai tamat. Layanan pendidikan dilaksanakan selama kurang satu tahun diluar kelas regular pada sekolah dasar yang ada sebagai transisi untuk memasuki kelas regular. Target pada tahun 2009 adalah penduduk usia sekolah dasar memperoleh layanan dikdas.


2.      Peningkatan Mutu, Relevansi, Dan Daya Saing
Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing dikdas dilaksanakan melalui kegiatan kegiatan sebagai bagian dari kegiatan yang mendasar dan sistematis adalah pengembangan kurikulum, metode pembelajaran, dan sistem penilaian. Model kurikulum yang dikembangkan perlu memperhatikan potensi peserta didik karakteristik daerah serta akar sosiokultural komunitas setempat. Perkembangan iptek. Dinamika perkembangan global, lapangan kerja, lingkungan budaya dan seni, dan lain lain. Pada jenjang dikdas, muatan kecakapan dasar (basic lerning content)  perlu ditekankan, mencakup kecakapan berkomunikasi (membaca membaca, menulis, menyampaikan pendapat), kecakapan intra personal (pemahaman diri, penguasaan dirievaluasi diri, tanggung jawab, dsb). Kecakapan intrapersonal (bersosialisasi, bekerja sama, memengaruhi/mengarahkan, orang lain, bernegosiasi, dan lain sebagainya).
Kapasitas profesi pendidik juga akan dikembangkan agar mereka mampu membawakan proses pembelajaran efektif, sesuai dengan standar kompetensi pendidik yang telah ditetapkan.proses pembelajaran efektif diselenggarakan secara interaktif, insfiratis, motivasi, menyenangkan dan mengasyikan untuk mendorong partisipasi pesertadidik agar aktig berintraktif, kreatif, mandiri sesuai deengan bakat minat dan perkembangan fisik serta kematangan psikologis.
Perbaikkan sarana dan bahyan belajar seperti perpustakaan, media pembelajaran, laboratoriu bahasa/ipa, matematika, alat praga pendidikan, buku pelajaran, buku non teks ppelajaran, dan melakukan pengendalian  mutu buku teks pelajaran dan buku non teks pelajaran.
Pengembangan sekolah berkeunggulan pada dikdas menargetkan paling tida satu sd dan satu smp pada masing masing kabupaten kota akan menjadi sekolah berkeunggulan local pada tahun 2009, dan target yang sama untuk sekolah bertaraf internasional. Sementara itu, dalam kaitan dengan pengembangan kecakapan berbahasa pada jenjang smp, dilakukan upaya pengembangan program bilingual dengan sasarann sebanyak  430 buah sekolah hgingga tahun 2009.

3.      Penguatan Tata Kelola akuntabilitas, Dan Pencitraan Publik
Pengembangan kapasitas dewan pendidikan dan komite sekolah serta kom ite PLS merupakan kegiatan yang terus dilakukan dalam rangka pemberdayaan partisipasi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab mengelola dikdas. Berfungsinya kedua kelembagaan tersebut secara optimal akan memperkuat pelaksanaan prinsif good govermance dan akuntabulitas penyelenggaraan pendidikan.
Pengembangan kapasitas juga akan terus dilakukan terhadap para pengurus sekolah atau satuan pendidikan non formal lainya untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan leadership menuju otonomi pengelolaan.. Kegiatan ini, bersama dengan penguatan DP/KS/komite PLS, merupakan kegiatan dari upaya penerapan MBS dan manajemen berbasis masyarakat (MBM) secara maksimal.
      Pengembangan EMIS (education management information system) sebagai sistem pendukung manajemen akan dilakukan untuk menunja ng keberhasilan upaya mengukur sejumblah indicator penting perluasan, mutum, dan efisiensi.

F.      Isu Seputar Evaluasi Pendidikan Secara Nasional
Analisis SWOT
a.       Desentralisasi Pendidikan : Sebuah Alternatif
Pada latar belakang di awal telah di katakan bahwa mutu pendidikan pada umumnya menjadi lebih baik jika dilakukan dengan proses desentralisasi. Berbagai studi di negara yang berkembang, terutama di amerika latin menunjukan keberhasilan desentralisasi bagi peningkatan mutu pendidikan meskipun di beberapa negara lain di laporkan terjadi kegagalan desentralisasi pendidikan. Untuk itu hal ini tentu saja harus di sesuaiklan dengan kondisi yang ada di indonesia apabila ingin menerapkannya.
 Proses desentralisasi pendidikan meliputi dua konsep utama. Pertama, pemindahan kewenangan kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Untuk hal ini telah jelas, bahkan dalam kurikulum 1994pun telah ada. Kedua, segi yang lebih spesifik adalah pemindahan berbagai keputusan mengenai sektor pendidikan dari pemerintah kepada masyarakat.gagasan dasar yang di landasi konsep kedua ini adalah bahwa masyarakat sebagai penerima manfaat pendidikan seyogyanya memilliki kemampuan untuk memutuskan pendidikan seperti apa  yang mereka inginkan.

b.      Kekuatan Ujian Akhir Nasional dalam KBK 2004
Kekuatan yang ada bagi terlaksananya desentralisasi pendidikan hususnya mengenai dalam pelaksanaan Ujian Akhir Nasional  yang menjadi ciri khas kurikulum KBK 2004 antara lain sebagai berikut. 
Pertama, persiapan yang cukup matang dengan menekankan penilaian berbasis kelas. Berbasis kelas mksudnya adalah penilaian yang di lakukan oleh guru untuk mengetahui kemajuan hasil belajar (kompetensi) siswa, mendiagnosis kesulitan belajar, memberikan umpan balik / perbaikan  (feed back)  proses belajar mengajar dan menentukan kenaikan kelas. Penialain kelas terdiri dari ulangan harian, pembagian tugas, dan ulangan umum yang semua bahan / materinya di kembangkan berdasarakan pada kompetensi anak. Di samping berbasis kelas,penialaian juga di dasarakan pula pada basis reformasi. Di katakan berbasis reformasi karna penialain di maksudkan untuk memperoleh informasi hasil belajar dari keberagaman atau dari hal yang multi.
Kedua, UAN , merupakan instrumen untuk memperoleh informasi tentang pencapaian beacmarking  yaitu penilaian proses dan hasil untuk menuju keunggulan yang memuaskan. [1]
Penghapusan ebtanas akan memunculkan kedaulatan dan otonomi sekolah yang benar-benar solid dan kredibel. Dengan demikian, otonomi sekolah dapat mendorong peningkatan kreativitas guru dan kepala sekolah untuk pengelolaan pembelajaran.

c.       Kelemahan ebtanas menuju UAN yang kredibel
Menurut penilain mendiknas, sistem penilain pendidikan di ubah dengan Ujian Akhir Nasinal. Karna ebtanas mengandung banyak kelemahan. Ebtanas telah mematikan kreativitas pendidikan. Soal-soal tes biasanya di jadikan acuan guru dalam pembelajaran kepada murid. Bahkan guru akan menambah les- les tambahan untuk mengejar nilai ebtanas.

Dari segi akademis, sistem penilain ebtanas memiliki kelemahan-kelemahan sebagai berikut:
a.       Penialain evaluasi tahap akhir nasional ( ebtanas ) tidak menunjukan nilai yang sebenarnya. Penilain yang di terapkan hanya m engukur kemampuan kognitif dan melupakan proses pembelajaran yang bermakna dan pembudayaan kemampuan nilai dan sikap. Ebtanas tidak memberikan makna karakter bangsa merupakan faktor yang penting untuk meniali keberhasilan pendidikan.penialain yang di lakukan hanya uantuk melihat sejauh mana siswa dapat menuangkan kembali pembelajaran yang telah di ajarkan guru.
b.      Sistem penialai melalui ebtanas menghambat kreativitas berpikir anak dan kreativitas guru dalam mengembngkan bahan ajar serta metode mengajarnya. Guru lebih banyak memfokuskan perhatiannya untuk menyiapkan anak menghadapi ebtanas. Setrategi pembelajaran demikian akan menghambat kreativitas anak. Sistem ebtanas juga melemahkan sekolah, yang berakibat kentalnya budaya menunggu juknis dan juklak.
c.       Sistem ebtanas juga  berdampak melahirkan kesenjangan antarsekolah yang berada di jawa dan luar jawa.
d.      Hasil penialaian yang di lakukan tidak relevan dengan kenyataan[2] karena banyak campur tangan berbagai kepentingan tidak semua daerah / kota siap terutama SDM – nya.

d.      kompetensi guru dalam menyusun butir-butir tes
Seorang peneliti menjelaskan mengapa sampai terjadi demikian. Sebabnya adalah ketidak siapan guru dalam menyusun soal secara baik dan benar. Guru gagal, merancang, merakit serta menyusun soal. Standar mutu soal yang setara dengan ebtanas ternyat belom dimiliki oleh guru. Kemampuan itu dapat di asah melalui pelatihan. Namun, peltihan guru, seminar dan lokakrya pun sering kali tidak menyentuh hakikat penialain. Kegiatan tersebut sering terjadi juga karna mengejar target dan proyek. Jadi sosialisai penilain yang seharusnya di rasakan masih belom propesional di banding dengan sosialisasi kurikulu, pendekatan metode, dan materi yang esensial. Bahkan , kemudian di kenalkan buku pengangan guru, pegangan siswa, buku pelengkap dari penerbit- penerbit. Sebaliknya, hal yang paling mendasar  dan perinsip penilaian sering di abaikan. Hal mendasar itu misalnya bagaimana guru tidak hanya piawai memberikan materi secara menarik dari buku acuan, tetapi mahir pula dalam menyusun tes sesuai dengan keperluan. Hal ini yanng belum ada pada guru.

e.       Peluan Bagi Pelaksanaan UAN
      Peluang bagi pelaksanaan UAN, secara yuridis memiliki kekuatan hukum, yaitu dengan di tetapkannya SK mendiknas No. 012/ U/ 2002 yang mengatur tentang sistem penialain SD dan sederajat.
Peluang lainnya adalah dengan adanya desentralisasi pendidikan dan dukungan SDM, terutama guru, khususnya kepala sekolah di daerah, dapat di manfaatkan semaksimal mungkin untuk bersama-sama menyelenggarakan pendidikan di daerah masing-masing menjadi lebih bermutu.
Peluang berikut yaitu dukungan orang tua, dan masyarakat stakholders yang tinggi terhadap kebijakan pendidikan harus di manfaatkan, juga anggaran pendidikan yang saat ini sebesar 20 persen.
f.       Tentang Bagi Pelaksaan UAN
Tentang bagi pelaksanaan evaluasi pendidikan secara nasional ini, khususnya berkaitan dengan penialain berdasarkan KBK 2004, adalah :
a.       Moral/ mentalitas birokrasi tingkat pusat , daerah dan sekolah yang tidak berubah terhadap perbedaan ujian akhir denagn ebtanas.
b.      Mentalitas guru yang beranggapan ujian akhir sekolah membebani guru sebagai mana penilaian dalam sistem ebtanas.
c.       Kualitas SDM guru yang tidak merata antara kota dan desa.

TEMUAN : KONDISI OBJEKTIF
Berdasarkan pada realitas di lapangan dan analisis SWOT penulis mendapatkan beberapa temuan sebagi berikut.
1.      Selalu terjadi saja kebocoran soal ebtanas, manipulasi koreksi yang di lakukan oleh oknum korektor ebtanas, serta daftar NEM  yang tidak asli.
2.      Banyak terjadi penyimpangan dan ebtanas, terutama terjadi di sekolah-sekolah daerah.
3.      Campur tangan daerah pusat masih dominan.
4.      Orientasi sekolah hanya mengejar NEM
5.      Politisasi ebtanas menjadi alat untuk mengankat sekolah – sekolah negeri agar terkesan berkualitas dengan menggunakan NEM sebagai seleksi masuk sekolah selanjutnya.

G.    Isu Kebijakan Seputar Supervisi Pendidikan
a.       Supervise Yang Ideal
Dalam lima tahun terakhirt ini, dalam kaitanya dengan tindakan supervisi, setiap kepala sekolah dan penilik/pengawas, tida lagi bias sewenang wenag terhadap guru dan pegawai lainya. Konsep tindakan supervise yang baik perlahan lahan mulai diterapkan oleh setiap kepala sekolah minimal telah mengantongi sertifikat kursus/pelatihan manajemen sekolah, bahkan di beberapa pemerintahan daerah telah ada pula yang disyaratkan memiliki ihjazah S1 manajemen pendidikan atau administrasi pendidikan. Tindakan supervisi, semakin lama semakin mengarah pada bentuk supervisi yang lebih professional dan akademik
Burton dalam purwanto mensyaratkantindakan supervise yang lebih menitik beratkan pada proses sosial, yaitu adanya kerjasama yang  harmonis antara guru dan supervisor dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar. Jadi, tidak ada lagi yang menempatkan guru sebagai subjek pasif. L
Apa yang dilakukan saat ini oleh sebagiankepala sekolah dalam rangka supervise, sesuai dengan pikiran burton di atas telah dapat dikatakan tepat. Dalam hal ini, supervise di arahkan perhatianya pada dasar dasar pendidikan dan cara cara anak anak belajar dan dan perkembanganya dalam pencapaian tujuan pendidikan secara umum. Artinya, kepala sekolah adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pencapaian dan peningkatan mutu di sekolahnya masing masing.
Kepala sekolah secara terus menerus melakukan perencanaan bersama guru, monitoring dan supervisi dalam setiap pelaksanaan kegiatan belajar mengajar serta melkukan evaluasi terhadap kesesuaian antara rencana program dengan pelaksanaan dilapangan. Setelah itu, kembali membuat rencana programyang terkait secara bersama sama dengan guru dan seluruh staf.
Kunci keberhasilan kepala sekolah sebagai supervisi disekolahnya adalah mengusahakan peningkatan kemampuan para guru dan stafnya untuk secara bersama sama mengembangkan situasi belajar mengajar yang kondusif[3]. Peningkatan ini hanya dapat dicapai melalui pranko munikasi yang lebih efektif[4]. Komunikasi yang efektif akan menghilangkan kedwiartian (ambiguitas) antara supervisor danb yang di supervisi[5]. Jadi, apa yang dilakukan oleh kepala sekolah, selaku supervisor di sekolahnya masing masing amat di tuntut kemampuan berkomunikasi yang baik, sehingga peranya tersebut tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan atau menghawatirkan para guru.
Tidak demikian halnya dengan supevisiyang dilakukan olehpara penilik dan pengawas, jabatan pengawas atau supervisor telah menjadi satu dengan mereka selama ini. Merekalah yang dikenal dalam masyarakat sebagai pengawas/supervisor. Ini merupakan jabatan yang mereka dapatkan setelah mereka mengabdi selama ini sebagai kepala sekolah. Ini merupakan jabatan karir yang tertinggi bagi para guru. Oleh karena itu, jabatan ini terasa sangat pretisius sehingga banyak diinginkan oleh para mantan kepala sekolah.
Dewasa ini, jabatan mereka atau supervisor ini telah banyak mengalami perubahan. Mereka sekarang lebih banyak berperan sebagai kunci, yaitu yang menjadi perantara antara pemimpin dinas pendidikan wilayah dengan guru guru atau personaliya lainya. Juga sebagai orang yang ditengah berfungsi sebagai tempat menumpahkan kepentingan nilai nilai dan orientasi yang berbeda antara pimpinan dinas pendidikan pada tingkat wilayah dengan para guru guru dan staf lainya.
b.      Analisis Swot Supervisi
1.      kekuatan;supervise bukanlah hal yang baru
a.       supervise bagi kepala sekolah bukanlah hal yang aneh dan baru bagi para kepala sekolahsetelah zaman kemerdekaan, tugas kompleks kepala sekolah telah menjadi tuntutan
b.      para guru menyadari betul bahwa segala usaha yang dilakukan semata mata demi tercapainya tujuan pembelajaran yang efektif. ke efektifan ini akan berdampakpada hasil belajar siswa.
c.       kerjasama yang baik dan harmonis antara kepala sekolah, guru, dan pegawai lainya akan melancarkan implementasi program pendidikan yang direncanakan bersama.
d.      adanya pengawasan atau supervise dari dinas pendidikan kabupaten/kota akan membuat kepala sekolah, guru dan pegawai lainya selalu berada pada kondisi siap mengerjakan yang terbaik.
2.      Hambatan; hubunngan atasan bawahan
a.       sering kali pendekatan kepala sekolah sebagai supervisor didasari atas hubungan atasan dan bawahan.
b.      masih adanya sebagian supervisor (penilik/pengawas) dari dinas pendidikan kabupaten/kota selain bersikap bagai atasan bawahan saat menjalankan tugasnya, juga ingin dilayani bagaikan raja
c.       sebagai supervisor hanya menunjukan kesalahan dan kekurangan kinerja kepala sekolah, gueru, dan staf tanpa berupaya memberikan solusi pemecahan atau memberikan bagaimana yang seharusnya dan sebaiknya.
3.      Peluang; kesadaran kepala sekolah dan guru
a.       Fungsi kepala sekolah sebagai supervisor dalam administrasi pendidikan telah disadari sepenuhnya oleh kepala sekolah dan telah biasa dijalankan.
b.      Tugas guru yang utama, baik untuk keperluan diawasi atau tidak selalu mengacu pada perbaikan hasil belajar siswa.
4.      Tantangan; mental supervisor
a.       Mental supervisor yang tidak jujur akan menghambat hasil kemajuan sekolah yang diawasi karena tidak dipokuskan pada fungsi yang sesungguhnya, melainkan hanya memikirkan amplop semata
b.      Pola hubungan atasan bawahan yang dikondisikan sebagai sisa peninggalan orde baru membuat kinerja kepala sekolah, guru dan staf kurang efektif , selalu merasa dibawah tekanan.

TEMUAN; KONDISI OBJEKTIF
Berdasarkan pada latar belakang, tujuan , permasalahanserta realitas dilapangan, setelah melakukan analisis, dia menemukan beberapa hal penting sebagai berikut;
1.      Supervise pada tingkat sekolah amat efektif jika dilangsungkan langsung oleh kepala seolah
2.      Supervise akan berjalan baik dengan tercapainya target keberhasilan sebagaimana direncanakan jika kepala sekolah menjadikan para guru dan pegawai lainya sebagai mitra kerja
3.      Fungsi supervise yang dilaksanakan oleh sebagian supervisor (penilik dan pengawas) telah melenceng dari konsep yang seharusnya sehingga proses pengawasan berjalan tida efektif
4.      Sebagian dari para penilik atau pengawas masih senang menggunakan pola kerja atasan bawahan
5.      Konsekuensi dari butir ke 4 di atas melahirkan suatu sikap para kepala sekolah guru, dan parea pegawai lainyayang abs (asal bapak senang)
6.      Supervisor datang ke sekolah tida tentu waktunya. Di satu sisi hal itu berdampak baik karena kepala sekolah, guru dan pegawai lainya  selalu siap bersiaga melakukan hal yang terbaik bagi sekolahnya. Akan tetapi, di sisi lain hal tersebut membuat kalang kabut orang lain karena tujuanya yang lain












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Isu kebijakan public sangat penting dibahas untuk membedakan istilah yang dipahami awamdalam perbincangan sehari hari, yang sering di artikan sebagai kabar burung. isu dalam sebuah kebijakan memiliki lingkup luas, yang meliputi berbagai persoalan yang ada ditengah tengah masyarakat. oleh karena itu, memahami konsep isu sangat membantu para analis untuk menganalisis kebijakan public.
isu kebijakan public merupakan produk atau dari adanya perdebatan baik tentang perumusan perincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Dunn (1995) menyatakan bahwa isu kebijakan tidak hanya mengandung ketidak sepakatan mengenai arah tindakan yang actual dan potensial, tetapi juga mencerminkan pertentangan dan pandangan mengenai sifat masalahnya. dengan demikian, isu kebijakan merupakan hasil perdebatan tentang devinisi, klasipikasi, eksplanasi,  dan evaluasi masalah.




[1] Balitbang Diknas. Op.cit.
[2] Sunandar.loc.cit
[3] Suharsimi Arikunto. Organisasi dan Administrasi Teknologi Kejuruan. (Jakarta: Depdikbud, 1998)
[4] Stephen Robbin .Perilaku Organisasi (Jakarta: Preshindo.1997)
[5] Sudiyono. “Peran Komunikasi bagi Supervisor”. Jurnal Ecccopesion. (Malang : Yayasan Pegupon ) tahun 7 No 1 Juli 1998 hlm, 52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar