MAKALAH
PEMBAHASAN
Konseptual dan Anatomi Korupsi UUD
Konseptual dan Anatomi Korupsi UUD
Yudi Imansyah
Rohmi
Latifah
A.
Pengertian
Korupsi
Korupsi
atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun egawai negeri, serta pihak lain
yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan
keuntungan sepihak.
Pasal 1 butir 3 Undang-undang No.28
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah
sebagai berikut:
Korupsi
adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi.
Dewasa ini peraturan yang mengatur
mengenai tindak pidana korupsi adalah Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Peraturan tersebut tidak mendefinisikan korupsi secara
eksplisit. Undang-undang No. 20 tahun
2001 hanya mengubah sebagian dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No.31
tahun 1999. Definisi korupsi dapat ditafsirkan melalui ketentuan yang termuat
dalam Pasal 2 peraturan yang lama, yang menyatakan bahwa setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana, …. Berdasarkan ketentuan tersebut maka suatu
perbuatan dapat dikatakan sebagai korupsi apabila memenuhi keseluruhan
elemen-elemen sebagai berikut:
1. Perbuatan yang dilakukan untuk memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau korporasi yang dilakukan secara melawan hukum;
2. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian
terhadap keuangan negara atau perekonomian negara;
3.
Maka terhadap perbuatan tersebut dikenakan
pidana
Dari
sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
1.
perbuatan
melawan hukum,
2.
penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana,
3.
memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
4.
merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis
tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah
1.
memberi atau
menerima hadiah atau janji (penyuapan),
2.
penggelapan
dalam jabatan,
3.
pemerasan dalam
jabatan,
4.
ikut serta
dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
5.
menerima
gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah. Pemerintahan rentan
korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi
yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kejahatan.
Tergantung
dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di
satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
B.
Kondisi Yang
Mendukung Munculnya Korupsi
1.
Konsentrasi
kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
2.
Kurangnya
transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
3.
Kampanye-kampanye
politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal.
4.
Proyek yang
melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
5.
Lingkungan
tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
6.
Lemahnya
ketertiban hukum.
7.
Lemahnya
profesi hukum.
8.
Kurangnya
kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
9.
Gaji pegawai
pemerintah yang sangat kecil.
Mengenai
kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup
yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang
menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh
suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji
pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut
tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi
satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang
yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun kurangnya gaji dan
pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti merata
dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam
tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia
Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123).
Begitu
pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun
1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari
pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat
dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan
banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk
pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya
Andi Hamzah, 2007)
C.
Bentuk-bentuk Korupsi
Pengaturan mengenai kategorisasi
perbuatan korupsi sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001
ini bersifat lebih rinci dibandingkan pengaturan yang ada dalam undang-undang
sebelumnya. Berdasarkan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 maka tindak
pidana korupsi dikategorisasikan menjadi dua, yaitu tindak pidana korupsi dan tindak pidana yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi. Kategorisasi pertama tersebut dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 5 s/d 12 Undang-undang No. 20 tahun 2001 jo Pasal 13 s/d 16 UU
No. 31 tahun 1999. Kategorisasi kedua dapat dilihat dalam 21 s/d 24 Undang-undang
No. 31 tahun 1999.
Kategorisasi pertama ini lebih mengacu
terhadap pelaku tindak pidana korupsi, baik pelaku utama maupun pelaku yang
sekedar memberikan bantuan sehingga memungkinkan terjadinya korupsi. Perincian
dari kategorisasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Korupsi
yang terjadi antara pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan pihak non
penyelenggara negara berupa pemberian atau janji kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya
(vide Pasal 5 ayat (1));
2. Korupsi
yang terjadi di lingkungan peradilan yang dapat mempengaruhi putusan perkara,
dengancara memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim (vide Pasal 6 ayat
(1));
a.
Korupsi yang terjadi di lingkungan kegiatan
pemborongan, pembangunan, dan pengadaan barang (vide Pasal 7 ayat (1)).
b.
Penggelapan uang atau surat berharga yang
dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu (vide
Pasal 8);
c.
Pemalsuan yang dilakukan oleh pegawai negeri
atau orang lain selain pegawai negeri
yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secra terus menerus atau
sementara waktu (vide Pasal 9);
d.
Gratifikasi (pemberian uang, barang,
rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bungan, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan lain sebagainya) yang
diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara berkaitan dengan jabatan
dan kewajibannya (vide Pasal 11 dan 12);
e.
Pemberian hadiah atau janji kepada pegawai
negeri karena jabatan atau kedudukannya (Pasal 13);
f.
Pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang lain baik secara
formal maupun materiil yang mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai tindak
pidana korupsi (Pasal 14);
g.
Perbuatan percobaan pembantuan atau pemufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15);
h.
Perbuatan, yang terjadi di dalam wilayah
Republik Indonesia, memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan
untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16).
Kategorisasi kedua menitikberatkan pada
perbuatan yang berkaitan dengan kategorisasi pertama, sebagai berikut:
a.
Perbuatan mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi (vide
Pasal 21);
b.
Perbuatan tidak memberikan keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar (vide Pasal 22);
c.
Pelanggaran terhadap ketentauan dalam Pasal
220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 442, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (vide Pasal 23).
D.
Anatomi Korupsi
Anatomi
(berasal dari bahasa Yunani anatomia,
dari anatemnein, yang berarti memotong) adalah cabang dari biologi yang
berhubungan dengan struktur dan organisasi dari makhluk hidup.
Upaya
pemerintah dalam memberantas korupsi melalui pembentukan perundang-undangan
dengan tiga kali perubahannya sampai saat ini masih belum menunjukkan tingkat
keberhasilan memadai.
Ketidakberhasilan
dimaksud dapat dilihat dari empat aspek: hukum, ekonomi, sosial, dan aspek politik.
Aspek keberhasilan hukum bukan diukur dari jumlah perkara korupsi yang
ditangani KPK dan Kejaksaan Agung setiap tahun, melainkan harus dilihat dari
kualitas prosedur yang digunakan dalam menuntut dan menetapkan seseorang
sebagai tersangka/terdakwa dan kualitas putusan pengadilan negeri, pengadilan
tinggi, dan Mahkamah Agung. Kualitas prosedur saat ini masih belum mencerminkan
kepastian hukum dan keadilan, terbukti masih adanya diskriminasi dan arogansi
penyidik yang mencemari institusi.
Kualitas
putusan pengadilan tidak hanya dilihat dari vonis bebas semata-mata, melainkan
pula dari vonis hukuman yang sangat jauh dari keadilan hanya karena kegamangan
integritas oleh keberadaan komisi yudisial dan kebebasan pers serta kritik
sosial. Selain itu, yang sangat kontroversial dari sudut penemuan keadilan
adalah jika putusan majelis hakim hanya demi popularitas semata. Keberhasilan
secara kuantitas ipso iure belum berarti keberhasilan secara kualitatif.
Sebaliknya, keberhasilan secara kualitatif mutatis mutandis keberhasilan secara
kuantitatif.
Dalam
konteks aspek ekonomi, keberhasilan secara kuantitatif pemberantasan korupsi
tidak memperkuat pertumbuhan ekonomi karena
keberhasilan tersebut telah terbukti tidak berhasil mendorong pemerataan
keadilan sosial. Ini terkait celah yang masih menganga untuk ber-KKN di sektor
pelayanan publik dan di sektor produksi yang bersentuhan dengan kepentingan
rakyat. Dari aspek sosial, tingkat kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat
terhadap pemberantasan korupsi berkorelasi langsung dengan kualitas pelayanan
kepada publik di bidang perizinan, empati dan simpati terhadap kejujuran,
profesionalisme dan integritas aparat penegak hukum, termasuk hakim.
Kepercayaan
masyarakat tidak tergantung pada hiruk-pikuknya LSM menyuarakan ketidakberesan
dalam proses penegakan hukum, tapi dipengaruhi oleh tingkat kebenaran dan
keabsahan substansi yang disuarakan. Aspek politik, keberhasilan secara
kuantitatif pemberantasan korupsi tidak ada pengaruhnya terhadap stabilitas
politik, justru sebaliknya, stabilitas politik yang kuat sangat memengaruhi
komitmen dan sikap pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Dari
keempat aspek tersebut semakin jelas bahwa keberhasilan penegakan hukum dalam
pemberantasan korupsi tidak tergantung pada keberhasilan KPK, Kejaksaan Agung
atau Kepolisian RI. Keliru pandangan umum yang berkembang bahwa pemberantasan
korupsi semata-mata tergantung pada penegakan hukum karena penegakan hukum
justru sangat tergantung pada stabilitas ekonomi, stabilitas sosial, dan
stabilitas politik.
Bahkan
keberhasilan pemberantasan korupsi tidak ada hubungan sama sekali dengan citra
pemerintah, jika keberhasilan tersebut ditelikung oleh tindakan amoral,
diskriminatif, dan asosial oleh segelintir oknum penegak hukum. Target
pemberantasan korupsi yang ditetapkan melalui instruksi presiden (inpres) dalam
praktik justru telah menimbulkan ekses penyalahgunaan kekuasaan, arogansi
institusional, dan “kering” hati nurani. Bahkan merupakan kebijakan yang keliru
jika pencapaian target telah dijadikan alasan untuk promosi, mutasi, dan
degradasi jabatan seorang penegak hukum. Diperlukan evaluasi dan koreksi
terhadap kebijakan sistem target keberhasilan pemberantasan korupsi di dalam
RPJMN 2010–2014, terutama dalam kaitan dampak positif terhadap iklim pertumbuhan
ekonomi dan investasi.
Laporan
IMF tentang perkembangan korupsi di Indonesia pada akhir 2010 belum cukup
melegakan kita semua karena IMF tidak mempertimbangkan kuantitas keberhasilan
menahan dan memenjarakan pelaku korupsi, melainkan IMF hanya mengukur kualitas
pelayanan publik di sektor perdagangan dan ekonomi, terutama tingkat kepuasan
dan kenyamanan berinvestasi di Indonesia.Kelemahan Strategi
Di mana
letak kelemahan strategi Indonesia dalam memberantas korupsi? Kelemahan
satu-satunya dan sangat strategis adalah sejak era reformasi pembentukan KPK
dan perubahan UU Antikorupsi serta penguatan UU Tindak Pidana Pencucian Uang
tidak diimbangi oleh strategi pencegahan yang memadai dan pelaksanaan yang
konsisten. Alhasil tidak dapat memberikan hasil segera (quickyielding) dan
kontributif terhadap keberhasilan langkah hukum represif.
Akibat
kelemahan ini maka keberhasilan pemberantasan korupsi di hilir tidak mutatis
mutandis refleksi keberhasilan di hulu. Ketimpangan dan kesenjangan dua
strategi di atas menyebabkan rencana dan implementasi strategi pemberantasan
korupsi nasional selama ini terjebak dalam lingkaran ketidakberhasilan yang
tidak berujung (unending circle of unsuccessful result) dan otomatis telah
menghabiskan waktu dan anggaran yang tidak efisien dan efektif. Keberhasilan
yang telah dicapai selama ini belum mencerminkan suatu strategi yang bersifat
sistemik, terencana, dan komprehensif.
Yang
terjadi selama ini adalah keberhasilan sesaat dengan metode ”terapi kejut”,
yaitu dengan mengusung kasus korupsi penyelenggara negara yang menarik
perhatian masyarakat dan ekspose melalui media nasional. Sistem terapi kejut,
sesuai namanya, juga akan menghasilkan “kejutan sementara” tapi tidak
mencerminkan tujuan mulia dari pemberantasan korupsi itu sendiri. Target
menciptakan iklim birokrasi yang sehat dan bebas KKN yang memberikan dampak
nyata terhadap kesejahteraan rakyat—bukan sekadar tontonan murahan—masih jauh.
Selain
evaluasi dan koreksi terhadap strategi nasional pemberantasan korupsi, perlu
pula dilakukan dengan mempertimbangkan sistem penegakan hukum dalam kasus
korupsi di negara-negara maju seperti di AS, Inggris, dan beberapa negara Uni
Eropa. Begitu pula perbandingan ke negara-negara di Asia seperti China
merupakan langkah yang tepat untuk dijalankan segera. Tingkat keberhasilan
pemberantasan korupsi level internasional terbanyak diraih oleh negara-negara
yang telah melaksanakan pelayanan publik secara transparan, akuntabel, dan
dijalankan oleh aparat birokrasi yang memiliki integritas tinggi— diperkuat
dengan tingkat kesejahteraan aparat birokrasi yang memadai.
Kekuatan
negara maju dan keberhasilannya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi
telah dilengkapi dengan pendekatan baru penegakan hukum, yaitu pendekatan
analisis ekonomi yang menitikberatkan pada tiga komponen yaitu, “maximization,
equilibrium, and efficiency” (Cooter dan Allen, 2004). Keberhasilan penerapan
ketiga komponen utama analisis ekonomi tersebut di negara maju telah
menghasilkan ketentuan baru mengenai “injunction” dalam penanganan perkara
tindak pidana suap (bribery) seperti dalam kasus Monsanto (2007) dan kasus
Innospec (2010) yang diduga telah melakukan suap terhadap pejabat di Indonesia.
Sistem
“injunction” hanya menjatuhi denda administratif tanpa penuntutan pidana, dan
hanya mewajibkan tersangka memenuhi syarat antara lain bersedia diaudit
manajemen perusahaan dan restrukturisasi manajemen. Ketidakpatuhan terhadap
syarat tersebut diancam pidana penjara dan pidana denda serta pencabutan izin
usaha. Pendekatan ini pula yang telah menghasilkan ketentuan baru tentang
“transaksi” di dalam KUHP Belanda (1996). Transaksi itu adalah diskresi kepada
jaksa penuntut umum untuk melakukan negosiasi tidak melakukan penuntutan.
Syaratnya,
terdakwa bersedia memberikan kompensasi terhadap korban atau terdakwa bersedia
harta kekayaannya yang berasal dari tindakan pidana dan setara dengan kerugian
yang diderita oleh negara atau korban disita, atau terhadap tindak pidana
dengan ancaman di bawah 6 tahun atau terhadap terdakwa lanjut usia di atas 60
Tahun. Pola pendekatan analisis ekonomi juga telah diterapkan di dalam KUHP
Jepang dan Thailand. Di Thailand, korban juga diberi hak oleh undang-undang
dalam tindak pidana tertentu untuk turut menentukan dilanjutkan atau tidaknya
proses penyidikan dan penuntutan.
Selain
keseimbangan dua strategi pemberantasan korupsi di atas, diperkuat juga dengan
ketiga komponen utama pendekatan analisis ekonomi bagi Indonesia yang masih
memerlukan perubahan paradigma dalam sistem peradilan pidana, yaitu dari paradigma
keadilan retributif kepada paradigma keadilan rehabilitatif dan restoratif.
Ujung penentu keberhasilan pendekatan analisis ekonomi dalam pemberantasan
korupsi adalah perilaku hakim yang memeriksa dan memutus perkara korupsi harus
mengedepankan pendekatan teori ekonomi daripada semata-mata pendekatan teori
legalistik-positivistik (Posner, 2008).
Saran-saran
perubahan strategi pemberantasan korupsi dengan pendekatan analisis ekonomi
yang dilandaskan pada ketiga prinsip tersebut sudah tentu memerlukan kajian
mendalam dengan mempertimbangkan faktor sosiologis, psikologis, politik,
ekonomi, dan budaya Indonesia. Namun harus juga diingat, saran-saran perubahan
strategi ini merupakan hasil pengamatan sejak perubahan UU Nomor 3 Tahun 1971
sampai dengan perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Selain
itu, saran-saran tersebut merujuk pada pengalaman buruk kinerja pemberantasan
korupsi sejak pemberlakuan undang-undang tersebut dibandingkan dengan dampak
positif dan konstruktif. Indikatornya bukan hanya keberhasilan memenjarakan
sejumlah koruptor besar dan kecil, melainkan dampak positif terhadap iklim
pembangunan nasional, terutama pembenahan dan peningkatan pembangunan ekonomi
nasional di tengah-tengah persaingan ekonomi internasional.
Pertanyaan
yang selalu muncul dari hasil pengamatan penulis adalah, mengapa banyak
instrumen internasional dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi—termasuk
pencucian uang—tapi selalu disertai sikap inkonsisten negara-negara maju yang
notabene pengusul inisiatif instrumen internasional tersebut dalam
menerapkannya ke dalam sistem hukum nasional masing-masing? Bahkan sikap
inkonsisten ini juga ditunjukkan dalam kerja sama internasional khusus
pengalaman buruk upaya pengembalian aset hasil korupsi yang pernah dialami oleh
Nigeria, Filipina, Afrika Selatan, juga Indonesia.
Sikap
umum negara berkembang yang selalu taat dan berkomitmen terhadap konvensi
internasional dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional,
termasuk korupsi dan pencucian uang, sering tidak diimbangi oleh konsistensi
sikap dan komitmen kuat dan sungguh-sungguh dari negara-negara maju untuk
mendukung keberhasilan pengembalian aset hasil tindak pidana khusus korupsi,
dengan alasan perbedaan sistem hukum. Atas dasar pengamatan dan pengalaman ini
pula dapat dikatakan bahwa semakin kencang tekanan menerapkan paradigma
retributif dalam pemberantasan korupsi dan pencucian uang dan semakin longgar
kerahasiaan bank untuk tujuan tersebut maka semakin besar peluang (sudah
menjadi kenyataan) pelaku membawa kabur hasil jarahannya ke negara-negara maju
yang notabene adalah pengusul inisiatif konvensi internasional tersebut di
atas.
Sebaliknya
yang terjadi justru di negara maju itulah harta kekayaan hasil jarahan
menikmati “perlindungan hukum” dan kenyamanan untuk berbisnis dengan “uang
haram” yang di Indonesia dicari-cari sampai mati. Kontradiksi baik ipso iure
dan ipso facto sebagaimana diuraikan di atas seharusnya juga menjadi bahan
pertimbangan saran perubahan strategi pemberantasan korupsi di Indonesia untuk
lima tahun mendatang. Mumpung belum terlambat dan kebablasan.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Korupsi
sesungguhnya merupakan masalah sistemik, bukan sekedar masalah moralitas
seperti anggapan kebanyakan orang. Mustahil korupsi mendapatkan pintu masuk
tanpa adanya praktek monopoli kekuasaan yang disertai dengan kewenangan yang
tidak terbatas. Jalan tersebut semakin lapang ketika upaya transparansi dan
akuntabilitas tidak dindahkah. Sehingga partisipasi setiap warga masyarakatpun,
menjadi tidak berjalan dalam upaya mengontrol dan mengawasi jalannya
pemerintahan. Masyarakat pada akhirnya dikunci dalam kebudayaan bisu (cuture
silent), yang tidak dapat berbuat apa-apa, meski penyelewengan terjadi
dimana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar