ISU ISU KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Persoalan
mendasar dalam pendidikan pada zaman tekhnologi dan informasi sekarang ini di
pandang sebagai problem yang sangat luar biasa sulit di berbagai negara.
Sekalipun demikian, negara-negara yang peduli terhadap masalah ini mengakui
bahwa pendidikan merupakan tugas negara yang maha penting. Pendidikan merupakan
kunci dalam membangun dan memperbaiki sikap individu dalam menghadapi keadaan dunia yang terancam
oleh berbagai otensi bencana yang mungkin diawali oleh pemanasan global. Tanpa
kunci itu, usaha tersebut akan gagal.
Dalam konteks
tersebut, setiap negara terus melakukan peningkatan pendidikan masing-masing.
Misalnya, melakukan perubahan sistem pendidikan guna mencapai kualitas atau
mutu pendidikan yang terus menerus menuju ke arah lebih baik. Hal ini perlu
diupayakan secara serius dan fokus karena peradaban masyarakat bangsa Indonesia
ditentukan oleh cara pendidikan dijalani oleh masyarakat.
Cara dan sistem
pendidikan yang sudah berakar dalam dan bertahan lama di negeri ini membutuhkan
reformasi pendidikan secara menyeluruh. Dalam konteks ini, pemerintah mencoba
memotong kompas dengan gagasan untuk menyamaratakan mutu pendidikan di Indonesia.
Akan tetapi, upaya ini sering menjadi sasaran kritik dan kecaman karena belum
meratanya taraf kehidupan di tiap-tiap wilayah di Indonesia. Oleh karena itu,
pemerataan standar pendidikan yang mengacu pada standar nasional harus
dilaksanakan secara bertahap . sesuai dengan taraf kehidupan masyarakat di
tiap-tiap wilayah.
Pengambilan
kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah tentu harus disesuaikan
dengan kondisi dan tuntutan perkembangan jaman, dalam pengambilan kebijakan
pemerintah harus mempertimbangkan berbagai paktor ytang terkait dan
mempertimbangkan isu isu terutama isu isu tentang kebutuhan pendidikan di
tengah tengah masyarakat.disamping itu, isu utama pendidikan saat ini adalah
urgensi dari pemerataan pendidikjan di seluruh wilayah Negara kesatuan republic
Indonesia baik dari segi kualitas mapun
kuantitas pendidikan. Oleh karena itu, pemaparan di atas yang menjadi latar
belakang utama kami dalam membahas isu isu kebijakan pendidikan, karena hal ini
dipandang penting untuk dipelajari dan dipahami oleh mahasiswa manajemen
pendidikan islam pada khususnya dan seluruh pelajar serta masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
Konsep Dan Tori Kebijakan Pendidikan?
2.
Bagaimanakah
Konsep Isu Isu Kebijakan Pendidikan?
3.
Bagaimanakah
Relitas Isu Isu Kebijakan Pendidikan Di Indonesia?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
Mempelajari Konsep Dan Tori Kebijakan Pendidikan
2.
Untuk
Memahami Konsep Isu Isu Kebijakan Pendidikan
3.
Untuk
Mengetahui Relitas Isu Isu Kebijakan Pendidikan Di Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Isu Isu Kebijakan
1.
Pengertian
Isu Isu Kebijakan
Isu kebijakan
public sangat penting dibahas untuk membedakan istilah yang dipahami awamdalam
perbincangan sehari hari, yang sering di artikan sebagai kabar burung. isu
dalam sebuah kebijakan memiliki lingkup luas, yang meliputi berbagai persoalan
yang ada ditengah tengah masyarakat. Oleh karena itu, memahami konsep isu
sangat membantu para analis untuk menganalisis kebijakan public.
Isu kebijakan
(polici isues) lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat diantara
para actor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau
pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan isu dapat diartikan
sebagai problema public yang saling
bertentangan (konflik) satu sama lain (controversial
public problem).
Dengan
demikian, isu kebijakan public merupakan produk atau dari adanya perdebatan
baik tentang perumusan perincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu
masalah tertentu. Dunn (1995) menyatakan bahwa isu kebijakan tidak hanya
mengandung ketidak sepakatan mengenai arah tindakan yang actual dan potensial,
tetapi juga mencerminkan pertentangan dan pandangan mengenai sifat masalahnya.
dengan demikian, isu kebijakan merupakan hasil perdebatan tentang devinisi,
klasipikasi, eksplanasi, dan evaluasi
masalah.
Pada sisi lain,
hogwood dan gun (1972) menegaskan bahwa isu bukan hanya mengandung makna adanya
masalah atau ancaman, melainkan juga peluang peluang bagi tindakan positif
tertentu dan kecenderungan yang dipersepsikan memiliki nilai potensial yang
signifikan. isu merupakan kebijakan alternative (alternative policies) atau
suatu proses yang dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran
suatu kelompok mengenai kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka
(alford dan friedhan 1997)
2.
Peringkat Isu Isu Kebijakan
Berdasarkan peringkatnya, menurut dunn (1995) isu kebijakan public
secara berurutan dapat dibagi menjadi empat katagori besar yaitu :
a.
Isu utama
Isu utama(bojar isues) secara khusus ditemui pada tingkat
pemerintah tertinggi di dalam atau diantara jurisdiksi/wewenang pedral, negara
bagian dan local. Isu isu utama secara khusus meliputi pertanyaan tentang misi
suatu instansi yaitu pertanyaan tentang sifat dan tujuan organisasi pemerintah.
Isu seperti apakah kementrian pendidikan dan pelayanan masyarakat harus
berusaha menghilangkan kondisi yang menimbulkan kemiskinan adalah pertanyaan
mengenai misi lembaga.
b.
Isu sekunder
Isu
sekunder (sekundary usues) adalah isu
yang terletak pada tingkat instansi pelaksana program di tingkat pemerintahan
fedral, Negara bagian, dan local. Isu ini dapat berisi isu prioritas program
dan definisi klompok sasaran dan penerima dampak. Isu mengenai cara mendefinisikan kemiskinan
keluarga adalah isu yang kedua.
c.
Isu fungsional
Isu
fungsional (functional isues)
terletak di antara tingkat program dan proyek, serta memasukan pertanyaan yang
mengacu pada masalah anggaran, keuangan dan usaha untuk memperolehnya.
d.
Isu minor
Isu
minor (minor isues) adalah isu yang
ditemukan paling sering pada tingkat proyek yang spesifik. Isu minor meliputi
personal, staf, keuntungan bekerja, waktu liburan, jam kerja, dan petunjuk
pelaksanaan dan peraturan
3.
Pentingnya Isu Kebijakan Untuk Dicermati
a.
Alasan
isu kebijakan penting untujk dicermati
Menurut wahab
(2001) isu kebijakan mencakup hal hal berikut
1.
Proses
pembuatan kebijakan publik di sistem
politik mana pun lazimnya berangkat dari adanya tingkat kesadaran tertentu atas
suatu masalah atau isu tertentu
2.
Derajat
keterbukaan, yaitu tingkat relatif demokratis atau tidaknya suatu sistem politik
di antaranya dapat di ukur melalui mekanisme mengalirnya isu menjadi agenda
kebijakan pemerintah dan pada akhirnya menjadi kebijakan public.
Selanjutnya cara kreteria isu dapat menjadi agenda kebijakan antara
lain;
1.
Isu
isu akan menjadi awal dari mulculnya masalah masalah public dan apabila masalah
tersebut mendapat perhatian yang memadai, akan masuk dalam agenda kebijakan;
2.
Suatu
isu tidak serta merta masuk menjadi agenda kebijakan karena masalah kebijakan
mencakup dimensi yang luas. Isu isu yang beredar dalam masyarakat akan bersaing
satu dengan yang lain untuk mendapatkan perhatian para elite politik sehingga
isu yang diperjuangkan dapat masuk ke agenda kebijakan.
Jack L walker (1982) menyatakan bahwa suatu masalah dapat tampil
menjadi masalah publik, apabila:
1.
Isu
tersebut mempunyai dampak yang besar pada banyak orang
2.
Ada
bukti yang meyakinkan agar lembaga legislative memerhatikan masalah tersebut
sebagai masalah yang serius
3.
Ada
pemecahan yang mudah dipahami terhadap masalah yang sedang diperhatikan.
b.
Kriteria
pembagian isu strartegis
Pada sisi lain, abiding (2004; 107) menambahkan bahwa masalah
public dapat dibagi kedalam masalah strategis dan masalah yang tidak strategis
(taktis0. Masalah strategis memenuhi syarat syarat berikut
1.
Luas
cakupanya. Artinya, wawasan wcakupanya tidak hanya meliputi satu sector atau
satu wilayah tetapi juga meliputi beberapa sector/wilayah
2.
Jangka
waktunya panjang. Pengertian ini erat hubunganya dengan tujuan dari perencanaan
jangka panjang. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa penyelesaian masalah memerlukan
waktu yang panjang dan dampak yang ditimbulkan mempunyai akibat yang jauh
kedepan.
3.
Mempunyai
keterkaitan yang luas. Substansi permasalahan dan cara cara penyelesaianya
menyangkut banyak pihak dalam masyarakat.
4.
Mengandung
risiko dan keuntungan yang besar. Rugi yang ditimbulkan atau hasil yang mungkin
diperoleh akibat dari penanganan masalah tersebut cukup besar, baik dalam nilai
uang maupun nilai sosial lainya yang tidak dapat dinilai dengan uang.
B.
Isu isu krisis kebijakan pendidikan; kategori standar nasional
pendidikan (SNP)
1.
Pengertian Standar Nasional Pendidikan
Menurut
peraturan pemerintah nomor 19 tahgun 2005 bab 1 pasal 1 ayat 1, yang dimaksud
standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan
diseluruh wilayah hukum Negara kesatuan republic Indonesia. Dengan kata lain,
setiap lembaga pendidikan dituntut untuk memenuhi kriteria minimum yang telah
ditentukan. Hal tersebut dilaksanakan agar tujuan pemerataan pendidikan
diseluruh wilayah hokum Negara kesatuan republik Indonesia.
2.
Substansi Kebijakan Standar Nasional Pendidikan
Dalam
pelaksanaan peningkatan mutu pendidikan, harus ada yang menjamin dan
mengendalikan mutu pendidikan sehingga sesuai dengan standar nasional
pendidikan. Pemerintah melakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Ketiga
proses ini dilaksanakan untuk menentukan layak tidaknya lembaga pendidikan yang
berstandar nasional.
3.
Tujuan standar nasional pendidikan
Standar
nasional pendidikan bukan hanya bertujuan memeratakan standar mutu pendidikan
di Negara kesatuan republic indonesdia, melainkan juga untuk memenuhituntutan
perubahan local, nasional, dan global. Karena mutu pendidikan di Indonesia
telah jauh tertinggal dari Negara asean yang lain, peningkatan pada segi
pendidikan akan terus terjadisehingga mutu pendidikan di Indonesia dapat
bersaing dengan yang lain.
C.
Lingkup standar nasional pendidikan (SNP)
Berdasarkan
peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 ada 8 standar yang menjadi sorotan
dalam melaksanakan standar nasional pendidikan yaitu:
1.
Standar
isi
Standar
isi adalah ruanglingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam
kreteria kompetensi tamatan, kompetensi kajian, kompetensi mata pelajaran, dan
silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenis dan
jenjang pendidikan tertentu.
Standar
isi mencakup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan
pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Setiap jenjang memiliki kompetensi
yang berbeda, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Dalam standar
isi termuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum
tingkat satuan pendidikan dan kalender pendidikan/akademik, yang berguna untuk
pedoman pelaksanaan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
2.
Standar
proses
Standar
proses adalah standar nasional pendidikanyang berkaitan dengan proses
pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai standar
kompetensi lulusan.proses pembelajaran seharusnya dilaksanakan secara
intraktif, insfiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisifasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat danperkembangan fisik
serta psikologis peserta didik.hal tersebut sangat membantu dalam perkembangan akal
dan mental pesertadidik.
3.
Standar
kompetensi lulusan
Standar
kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, keterampilan. Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman
penilayan dalam dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
Setiap
jenjang kelulusan memiliki kompetensi dasar yang berbeda. Mulai dari pendidikan
dasar yang hanya bertujuan meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut, sampai jenjang perguruan tinggi yang bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berahlak
mulia, memiliki pengetahuan,
keterampilan, kemandirian dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta
menerapkan ilmu, teknologi, dan seni yang bermartabat bagi kemanusiaan
4.
Standar
pendidik dan ketenaga pendidikan
Standar
pendidik dan tenaga kependidikan kreteria pendidikan prajabatan dan kelayakan
fisik ataupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pendidik harus memiliki
kualifikasi akademis dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
Ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi bagi para pendidik, diantaranya:
a.
Kualifikasi
akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
b.
Latar
belakang pendidikan tinggi dengan program pendiikan yang sesuai dengan mata
pelajaran yang diajarkan; dan
c.
Sertifikat
profesi guru untuk jenjang yang dia geluti
5.
Standar
sarana dan prasarana
Standar
sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
kreteria minimal tentang ruang belajar, berolahraga, tempat beribadah,
oerpustkaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermaintempat berkreasi,serta
sumber belajar lain,
Setiap
lembaga pendidikanwajib memiliki sarana dan prasarana yang telah ditentukan.
Adapun sarana tersebut antara lain meliputi prabot pralatan pendidikan, media
pendidikan, buku dan sumber belajar, lainya. Bahan habis pakai serta
perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang
teratur dan berkelanjutan. Prasarananya antara lain lahan, ruang kelas, ruang
pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang
perpustakaan, laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang
kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, ruang beribadah, tempat
bermain, tempat berkreasi, dan ruang lain yang diperlukan untuk menunjang
proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
6.
Standar
pengelolaan
Standar
pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satua
pendidikan, kabupaten, kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi
dan efektifitas penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan satuan pendidikan pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah
yang ditunjukan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan
akuntabilitas. Sedangkan pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan
tinggi merupakan otonomi perguruan tinggi, yang dalam batas batas yang di atur
dalam ketentuan perundang undangan yang berlaku mendorong kebebasan dan
mendukung kemandirian dalam pengelolaan akademik, oprasional, personalia,
keuangan dan area fungsional kepengelolaan lainya yang di atur oleh masing
masing perguruan tinggi.
7.
Standar
pembiayaan
Standar
pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya oprasi
satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Ada tiga maca biaya dalam
standar ini yaitu;
a.
Biaya
inventaris satuan pendidikan yaitu biaya penyediaan sarana dan prasarana,
pengembangan sumberdaya manusia, dan model kerja tetap.\biaya personal
sebagaimana adalah lembaga pendidikanyang harus dikeluarkan oleh
pesertadidikimyik biaya proses pelaksanaan pembelajaran secara teratur dan
berkelanjutan.biaya oprasional satuan lembaga pendidikan meliputil
1.
Gaji
dan tunjangan pendidikan dan tenaga kependidikan
2.
Bahan
atau peralatan pendidikan habis pakai
3.
Biaya
oprasi pendidikan tidakj langsung seperti air, sarana dan prasarana pajak
asuransi dan lain sebagainya.
8.
Standar
penilayan pendidikan
Standar
penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan
mekanisme, prosedur dan instrument penilaian hasil belajar pesetadidik.
Penilaian dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan,
dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester,
ulangan akhir semester dan ulangan kenaikan kelas.
D.
Muatan
Isu Kritis Dalam Standar Nasional Pendidikan
Seiring dengan disahkannya Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, terjadilah perubahan sistem pendidikan
nasional untuk mencapai standar minimum yang telah ditentukan pemerintah. Di
samping itu, terjadi penolakan Standar
Nasional Pendidikan.
Adapun beberapa alasan yang menyebabkan belum layaknya Standar
Nasional Pendidikan diterapkan secara nasional adalah sebagai berikut.
1.
Pertumbuhan
Ekonomi Yang Tidak Merata Di Setiap Daerah
Kenyataan
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berandil besar dalam perkembangan aspek
kehidupan lain, tidak terkecuali pendidikan. Di daerah yang memiliki hasil alam
tinggi, perkembangan pendidikannya tidak sesuai dengan harapan. Walaupun sudah
dikeluarkan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (OTDA), pembangunan
dalam bidang pendidikan masih tidak menentu karena sifat pemerintah pusat tidak
mempersiapkan sumber daya untuk menjalankan sistem pendidikan yang sekarang
sedang berjalan. Dengan demikian, pemerintah pusat terkesan setengah-setengah
dalam pemberian wewenang untuk mengurusi pendidikan di daerah.
Murip
Yahya (2009:80) menyatakan bahwa pada dasarnya otonomi daerah memberikan
peluang kepada pengelola pendidikan untuk mengembangkan lembaga pendidikan,
antara lain :
a.
Merumuskan
tujuan institusi yang megacu pada tujuan nasional
b.
Merumuskan
dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan tujuan dan kebutuhan masyarakat suatu
daerah.
c.
Menciptakan
situasi belajar dan mengajar yang mendukung pelaksanaan dan pengembangan
kurikulum yang telah ditetapkan.
d.
Mengembangkan
sistem evaluasi yang tepat dan akurat, baik dari prestasi siswa maupun
penyelenggaraannya.
2.
Sarana
Fisik Yang Kurang Memadai
Masih
banyak sekolah dan perguruan tinggi yang keadaan gedugnya tidak layak,
kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, koleksi buku perpustakaannya
kurang lengkap, penggunaan teknologi informasi yang kurang memadai dan
sebagainya.
Balitbang
Depdiknas (2003) memparkan data untuk tingkat SD yang terdiri atas 146.052
lembaga dan menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas,
hanya 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, sedangkan 299.581 atau 34,62%
mengalami kerusakan ringan, dan sebanyak 201.237atau 23,26% mengalami kerusakan
berat. Keadaan ini juga terjadi di SMP,MTs, SMA, MA dan SMK meskipun dengan
persentase yang tidak sama.
Sebagai
contoh adalah pendidikan di Papua yang sangat jauh tertinggal dibandingkan
dengan ulau Jawa. Pengadaan sarana dan prasarana di Papua tidak sesuai
kebutuhan sehingga peningkatan mutu pendidikan didi sana sangat lambat.
Seharusnya pemerintah lebih memerhatikan
daerah tertinggal (desa) daripada mengurusi pendidikan di daerah maju
(kota) yang lebih dapat dipantau. Hal ini akan lebih memudahkan pemerintah
dalam menyukseskan program pemerataan pendidikan yang berpaku pada Standar
Nasional Pendidikan (SNP)
3.
Pendidikan
Tidak Bebas Nilai
Menurut
Sukarno (2005), kebijakan pendidikan akhir-akhir ini lebih banyak ditandai oleh
upaya penyesuaian struktural yang bentuk penyesuaian strukturalnya sering
bersumber pada pilihan aliran-aliran politik pendidikan dan pilihan teknokratis
yang mungkin.
Orientasi
pendidikan yang dipilih secara formal adalah seperti yang termaktub dalam UUD
“mencerdaskan bangsa” dan mengembangkan potensi manusia Indonesia seutuhnya dan
seluruhnya (UU 20/2003 Sisdiknas). Sekalipun demikian, perwujudan Mendiknas
secara secara retorik dan kebijakan Depdiknas atas orientasi itu tampaknya
menekankan politik eklektis (antara neo-konservatisme dan progresif humanistik
dan sedikit orientasi radical education), kendati mencobamenghapus kenangan
“sekolah pembangunan” yang pernah dimunculkan pada zaman Orde Baru.
Mendiknas
mencoba mengakomodasi pertentangan
orientasi politik pendidikan sehingga lebih bersifat eklektis-politis,
mengambil elemen-elemen yang layak dipilih secara politis sehingga dapat
disejajarkan dengan kebijakan politik yang sangat populer pada era reformasi,
yaitu tentang otonomi daerah.
Nada
humanistis tersebut terlihat pada kutipan, (Mendiknas akan membawa paradigma
pendidikan kita tidak sekadar menempatkan manusia sebagai alat produksi.
Manusia harus dipandang sebagai sumberdaya yang utuh. Ia tidak ingin terjebak
pada teori ekonomi neo-klasik, teori yang menempatkan manusia sebagai alat
produksi, dimana penguasaan iptek bertujuan menopang kekuasaan dan kepentingan
kapitalis. “Saya akan membawa pendidikan sebagai proses pembentukan manusia
Indonesia seutuhnya” (Kompas, 22/10).
Selanjutnya,
Sukarno (2005) menyatakan bahwa dilihat dari tantangan besar yang terbentang di
atas, tampaknya Depdiknas masih terlalu disibukkan pada pemecahan masalah yang
berhubungan dengan structural adjustment sehingga seakan-akan belum
sempat mempersiapkan kerangka pendidikan yang tepat dan mempersiapkan gurunya
secara baik untuk menyongsong masalah diatas, yaitu mengembangkan pembelajaran
yang humanis-demokratis serta membangun lembaga partisipasi publik.
4.
Paradigma
Perubahan
Kekhawatiran
menonjol yang berkaitan dengan upaya peningkatan mutu, antara lain menyangkut
lemahnya perbaikan mutu guru dan materi didik, serta metode pembelajaran (yang
masih tradisional, khususnya untuk tujuan demokratisasi) dan lemahnya sistem
evaluasi dan orientasi efisiensi eksternal, khsusnya relevansinya dengan
kebutuhan demokratisasi masyarakat dan pengembangan dunia usaha.
Rencana
perbaikan kesejahteraan guru (sesuai UU Guru), sertifikasi tenaga kependidikan
dan akreditasi lembaga pendidikan adalah langkah maju. Akan tetapi, belum
diketahui apakah ketiga rencana tersebut lebih membantu atau sebaliknya memojokkan
sekolah/madrasah yang lemah, terutama swasta, disamping apakah akan lebih
mendesakkan tolak ukur lingkungan sekolah yang demokratis dan
pemahaman/kemampuan guru untuk mengembangkan kesetaraan, toleransi, terutama
solidaritas melaluiproses belajar. Pertanyaan ini penting karena mewabahnya
lingkungan pendidikan eksklusif, bisa kelas ekonomi dan kurang pluralistis.
Demikian
pula, kendati otonomi daerah/sekolah telah memunculkan inisiatif untuk
mengembangkan program pendidikan atau ekstrakurikuler (misalnya life skill),
inisiatif itu tampaknya lebih di dorong oleh ketersediaan guru/pelatihnya atau
bahkan semata-mata keinginan sekolah/daerah untuk mendapatkan input tambahan,
daripada didasari oleh kajian potensi dan prospek ekonomi daerah yng matang (efisiensi
eksternal). Pada pihak lain, khususnya ekolah kejuruan dan pendidikan uar
seolah, on-the job training dan standarisasi organisasi profesi serta
sertifikasi pelatihanyya belum tertata dengan baik, sehingga kurang memberikan
keyakinan tentang tingkat kualitas lulusannya bai calon penggunanya.
Dengan
membandingkan kendala (kekhawatiran) terhadap upaya pemerataan dan kendala
(kekhawatiran) terhadap upaya peningkatan mutu di atas, jelas bahwa penanganan
trade-off antara keduanya merupakan masalah yang krusial.
Kendati
dalam desain pemerintah, keduanya diharapkan akan berjalan seiring (merata dan
meningkat mutunya) secara umum terdapat prognosis bahwa lemahnya kemampuan
pendanaan untuk pemerataan peningkatan mutu dan manajemen oleh pemerintah.
Realitas politik daerah dan persaingan antar (otonomi) sekolah/madrasah
memperebutkan akses politik dan daya masyarakatnyalah yang lebih menentukan
pemerataan vis avis peningkatan mutu pendidikan kita.
Dinamika
yang sekarang terlihat adalah ketik pemerintah sedikit saja melepas bagian
tubuh pendidikan ke daerah dan pasar, bagian itu direbut (otonomi) sekolah yang
lebih kuat dan dijadikan komoditas yang sah. Ak ini memperlebar kesenjangan
yang ada dan pendidikan “bermutu” akan lebih dinikmati kelompok mampu, kecuali
pemerinah meningkatkan kemampuan (terutama dana) dan komitmennya untuk meredam
hal tersebut.
Oleh
karena itu, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan komitmen pada saat ini menurut
Sukarni (2005), diibaratkan dua “telur” yang mendesak untuk dibuat dan
pertanyaannya saat ini adalah sebagai berikut.
a.
Apabilla
negara belum mampu berperan sebagai equalizing factor, apakah civil society
(lembaga sosial kependidikan di masyarakat) setelah menghadapi kebijakan negara
yang terkesan kurang menekankan partnership seperti diatas, masih dapat
berperan emansi patorik atau ikut menjadi penjual komoditas pendidikan untuk
mempertahankan hidupnya?
b.
Apakah
dalam dinamika seperti ini, sistem pendidikan kita telah tereduksi menjadi alat
legitimasi pemilah kelas sosial (sorting mechanism) dan alat reproduksi
tata hubungan (kuasa) sosial-ekonomi belaka?
c.
Apabila
jawabnya “ya” di tengah pasang naik peran pasar dan lemahnya peran negara untuk
emansipasi kelompok yang lemah, diperlukan peran partisipasi/solidaritas publik
(dan civil society)melalui lembaga yang kuat untuk mengawal sistem
pendidikan kita.
5.
Lemahnya
Mental Masyarakat
Firza
Imam Putra (2009) menyatakan bahwa lebih dari 1,1 jut anak memilih berhenti
belajar di sekolah selama tahun 2007. Artinya, setiap menit ada 4 anak putus
sekolah di Indonesia. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya angka putus
sekolah itu adalah dorongan orangtua dari keluarga tidak mampu. Dengan kondisi
demikian, anak kemudian dikondisikan untuk mencari uang dan menambah
penghasilan kelurga.
Masaalah
besar lainnya adalah kontroversi diadakannya Ujian Nasional (UN) (Erin Driani,
2009). Senada dengan hal itu, M. Yunana Yusuf (2007), menyatakan bahwa untuk
tahun pelajaran 2006/2007, peserta UN diperkirakan berjumlah 4.701.000 orang,
dengan perincian peserta SMP/MTS dan SMPLB 2.501.300 orang dan peserta
SMA/MA/SMALB dan SMK 2.200.700 orang. Sementara luas kawasan penyelenggaraannya
meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu,
penyelenggaraan UN merupakan satu pekerjaan raksasa dengan menghabiskan dana Rp
244 Miliar yang didekonsentrasikan ke dinas provinsi, kabupaten/kota serta
sekolah/madrasah penyelenggara UN.
Berdasarkan
uraian-uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
a.
Solusi
sistematis dapat diterapkan , yaitu solusi dengan mengubah sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui bahwa sistem pendidikan
sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di
Indonesia saat ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme yang
berprinsip meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik,
termasuk pendanaan pendidikan serta penataan kembali undang-undang yang telah
ada, sehingga sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia.
b.
Standar
pendidikan nasional harus diterapkan bebas nilai, bukan dengan memuat muatan
politik praktis melalui pemberian wewenang yang jelas dan pada elemen
pendidikan yang tepat.
c.
Solusi
untuk masalah-masalah teknis dikembalikan pada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Mutu guru sarana fisik yang kurang
memadai misalnya, diberi solusi dengan pengadaan sarana dan prasarana yang
dibutuhkan untuk menunjang kegiatan belajar dan mengajar.
d.
Standar
nasional pendidikan harus diterapkan secara total dan benar sesuai konsep,
harus melalui strategi advokasi yang tajam, dan komitmen stakeholder secara
menyeluruh. Selain itu, dilakukan sosialisasi bagi komponen pendidikan dari
tingkat nasional, provinsi hingga daerah kabupaten/kota, lembaga swadaya masyarakat
dari masyarakat.
Oleh karena
itu, untuk meningkatkan kinerja pelayanan pendidikan agar dapat mencapai
standar pendidikan nasional, terdapat dua agenda yang perlu dipikirkan dalam
pengimplementasiannya, yaitu sebagai berikut.
a.
Pelaksanaan
desentralisasi politik pendanaan sampai ke tingkat sekolah yang telah
meningkatkan partisipasi finansial masyarakat sudah waktunya diimbangi
pelaksanaan desentralisasi politik pendidikan sampai tingkat masyarakat sesuai
UU Sisdiknas (pasal 9), melalui komite sekolah dan Dewan Pendidikan.
b.
Kebijakan
yang selama ini lebih menekankan input sudah saatnya diimbangi secara bertahap
dengan kebijakan yang menekankan juga output dan efisiensi eksternal melalui
upaya perbaikan mutu guru dan penden yang mewakili publik (sesuai pasal 11)
yang mendesak untuk segera dibentuk sehingga perbaikan kurikulum berjalan
selaras dengan asas manajemen mutu.
E.
Isu Isu Kebijakan Pendidikan
1.
Pemerataan dan perluasan akses
Program
pemerataan dan perluasan akses akan dilakukan dengan mengupayakan menarik semua
anak usia sekolah yang sama sekali belum pernah sekolah, menarik kembali siswa
putus sekolah, dan lulusan yang tidak pernah melanjutkan pendidikan. Berbagai
kegiatan berikut akan dilaksanakan dalam rangka melaksanakan program pemerataan
dan perluasan.
Pemberian bantuan biaya oprasional pendidikan
diberikan dalam rangka membantu sekolah mencapai proses pembelajaran secara
optimal.bantuan pembiayaan tida membedakan sekolah negeri maupun swasta,
madrasah maupun sekolah umum. Target pada tahun 2009 siswa pada satuan dikdas
memperoleh bantuan biaya oprasiona.
Penyediaan
perpustakaan, buku teks pelajaran maupun non teks pelajaranyang tidak
membedakan baik sekolah negri, maupun suwasta, sekolah umum maupun madrasah.
Target pada tahun 2009 diharapkan setiap siswa pada satuan pendidikan
memperoleh buku teks pelajaran maupun non teks pelajaram.
Rehabilitasi
ruang kelas yang rusak, merupakan upaya melakukan penyediaan sarana penunjang
pendidikan yang layak untuk pendidikandasar. Target rehabilitasi pada tahun
2007 mencapai sekitar 200 ribu ruang kelas yang rusak berat dan 200 ribu ruang
yang rusdak ringanpada sd; sekitar 9500 ruang kelas yang rusajk beratdan lebih
dari 23 ribu ruang kelas rusak ringan pada smp.
Unit
sekolah baru dan rkb, penyediaan prasarana pendidikan termasuk pembangunan unit
sekolah baru (usb) dan ruang kelas baru (rkb) juga dipayakan dalam rangka
pemerataan dan perluasan ditingkat smp/mts untuk menampung peningkatan jumblah
lulusan sd, juga dilakukan dengan memanfaatkan layanan pendidikan yang sudah
ada.
Penyelenggaraan
kelas layanan khusus disekolah dasar, merupakan layanan pendidikan bagi anak
usia sekolah dasar (7-12) yang putus sekolah atau sama sekali belum pernah
sekolah dasar sampai tamat. Layanan pendidikan dilaksanakan selama kurang satu
tahun diluar kelas regular pada sekolah dasar yang ada sebagai transisi untuk
memasuki kelas regular. Target pada tahun 2009 adalah penduduk usia sekolah
dasar memperoleh layanan dikdas.
2.
Peningkatan Mutu, Relevansi, Dan Daya Saing
Peningkatan
mutu, relevansi, dan daya saing dikdas dilaksanakan melalui kegiatan kegiatan
sebagai bagian dari kegiatan yang mendasar dan sistematis adalah pengembangan
kurikulum, metode pembelajaran, dan sistem penilaian. Model kurikulum yang
dikembangkan perlu memperhatikan potensi peserta didik karakteristik daerah
serta akar sosiokultural komunitas setempat. Perkembangan iptek. Dinamika
perkembangan global, lapangan kerja, lingkungan budaya dan seni, dan lain lain.
Pada jenjang dikdas, muatan kecakapan dasar (basic lerning content) perlu ditekankan, mencakup kecakapan
berkomunikasi (membaca membaca, menulis, menyampaikan pendapat), kecakapan
intra personal (pemahaman diri, penguasaan dirievaluasi diri, tanggung jawab,
dsb). Kecakapan intrapersonal (bersosialisasi, bekerja sama,
memengaruhi/mengarahkan, orang lain, bernegosiasi, dan lain sebagainya).
Kapasitas
profesi pendidik juga akan dikembangkan agar mereka mampu membawakan proses
pembelajaran efektif, sesuai dengan standar kompetensi pendidik yang telah
ditetapkan.proses pembelajaran efektif diselenggarakan secara interaktif,
insfiratis, motivasi, menyenangkan dan mengasyikan untuk mendorong partisipasi
pesertadidik agar aktig berintraktif, kreatif, mandiri sesuai deengan bakat
minat dan perkembangan fisik serta kematangan psikologis.
Perbaikkan
sarana dan bahyan belajar seperti perpustakaan, media pembelajaran, laboratoriu
bahasa/ipa, matematika, alat praga pendidikan, buku pelajaran, buku non teks
ppelajaran, dan melakukan pengendalian
mutu buku teks pelajaran dan buku non teks pelajaran.
Pengembangan
sekolah berkeunggulan pada dikdas menargetkan paling tida satu sd dan satu smp
pada masing masing kabupaten kota akan menjadi sekolah berkeunggulan local pada
tahun 2009, dan target yang sama untuk sekolah bertaraf internasional.
Sementara itu, dalam kaitan dengan pengembangan kecakapan berbahasa pada
jenjang smp, dilakukan upaya pengembangan program bilingual dengan sasarann
sebanyak 430 buah sekolah hgingga tahun
2009.
3.
Penguatan Tata Kelola akuntabilitas, Dan Pencitraan Publik
Pengembangan
kapasitas dewan pendidikan dan komite sekolah serta kom ite PLS merupakan
kegiatan yang terus dilakukan dalam rangka pemberdayaan partisipasi masyarakat
untuk ikut bertanggung jawab mengelola dikdas. Berfungsinya kedua kelembagaan
tersebut secara optimal akan memperkuat pelaksanaan prinsif good govermance dan
akuntabulitas penyelenggaraan pendidikan.
Pengembangan kapasitas
juga akan terus dilakukan terhadap para pengurus sekolah atau satuan pendidikan
non formal lainya untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan leadership menuju
otonomi pengelolaan.. Kegiatan ini, bersama dengan penguatan DP/KS/komite PLS,
merupakan kegiatan dari upaya penerapan MBS dan manajemen berbasis masyarakat
(MBM) secara maksimal.
Pengembangan EMIS (education management
information system) sebagai sistem pendukung manajemen akan dilakukan untuk
menunja ng keberhasilan upaya mengukur sejumblah indicator penting perluasan,
mutum, dan efisiensi.
F.
Isu Seputar Evaluasi Pendidikan Secara Nasional
Analisis SWOT
a.
Desentralisasi Pendidikan : Sebuah Alternatif
Pada latar
belakang di awal telah di katakan bahwa mutu pendidikan pada umumnya menjadi
lebih baik jika dilakukan dengan proses desentralisasi. Berbagai studi di
negara yang berkembang, terutama di amerika latin menunjukan keberhasilan
desentralisasi bagi peningkatan mutu pendidikan meskipun di beberapa negara
lain di laporkan terjadi kegagalan desentralisasi pendidikan. Untuk itu hal ini
tentu saja harus di sesuaiklan dengan kondisi yang ada di indonesia apabila
ingin menerapkannya.
Proses desentralisasi pendidikan meliputi dua
konsep utama. Pertama, pemindahan kewenangan kebijakan pendidikan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Untuk hal ini telah jelas, bahkan dalam
kurikulum 1994pun telah ada. Kedua, segi yang lebih spesifik adalah
pemindahan berbagai keputusan mengenai sektor pendidikan dari pemerintah kepada
masyarakat.gagasan dasar yang di landasi konsep kedua ini adalah bahwa
masyarakat sebagai penerima manfaat pendidikan seyogyanya memilliki kemampuan
untuk memutuskan pendidikan seperti apa
yang mereka inginkan.
b.
Kekuatan Ujian Akhir Nasional dalam KBK 2004
Kekuatan yang
ada bagi terlaksananya desentralisasi pendidikan hususnya mengenai dalam
pelaksanaan Ujian Akhir Nasional yang
menjadi ciri khas kurikulum KBK 2004 antara lain sebagai berikut.
Pertama, persiapan
yang cukup matang dengan menekankan penilaian berbasis kelas. Berbasis kelas
mksudnya adalah penilaian yang di lakukan oleh guru untuk mengetahui kemajuan
hasil belajar (kompetensi) siswa, mendiagnosis kesulitan belajar, memberikan
umpan balik / perbaikan (feed back) proses belajar mengajar dan menentukan
kenaikan kelas. Penialain kelas terdiri dari ulangan harian, pembagian tugas,
dan ulangan umum yang semua bahan / materinya di kembangkan berdasarakan pada
kompetensi anak. Di samping berbasis kelas,penialaian juga di dasarakan pula
pada basis reformasi. Di katakan berbasis reformasi karna penialain di
maksudkan untuk memperoleh informasi hasil belajar dari keberagaman atau dari
hal yang multi.
Kedua, UAN , merupakan
instrumen untuk memperoleh informasi tentang pencapaian beacmarking yaitu penilaian proses dan hasil untuk menuju
keunggulan yang memuaskan. [1]
Penghapusan
ebtanas akan memunculkan kedaulatan dan otonomi sekolah yang benar-benar solid
dan kredibel. Dengan demikian, otonomi sekolah dapat mendorong peningkatan
kreativitas guru dan kepala sekolah untuk pengelolaan pembelajaran.
c.
Kelemahan ebtanas menuju UAN yang kredibel
Menurut
penilain mendiknas, sistem penilain pendidikan di ubah dengan Ujian Akhir
Nasinal. Karna ebtanas mengandung banyak kelemahan. Ebtanas telah mematikan
kreativitas pendidikan. Soal-soal tes biasanya di jadikan acuan guru dalam
pembelajaran kepada murid. Bahkan guru akan menambah les- les tambahan untuk
mengejar nilai ebtanas.
Dari segi
akademis, sistem penilain ebtanas memiliki kelemahan-kelemahan sebagai berikut:
a.
Penialain evaluasi tahap akhir nasional ( ebtanas ) tidak
menunjukan nilai yang sebenarnya. Penilain yang di terapkan hanya m engukur
kemampuan kognitif dan melupakan proses pembelajaran yang bermakna dan
pembudayaan kemampuan nilai dan sikap. Ebtanas tidak memberikan makna karakter
bangsa merupakan faktor yang penting untuk meniali keberhasilan
pendidikan.penialain yang di lakukan hanya uantuk melihat sejauh mana siswa
dapat menuangkan kembali pembelajaran yang telah di ajarkan guru.
b.
Sistem penialai melalui ebtanas menghambat kreativitas berpikir
anak dan kreativitas guru dalam mengembngkan bahan ajar serta metode
mengajarnya. Guru lebih banyak memfokuskan perhatiannya untuk menyiapkan anak
menghadapi ebtanas. Setrategi pembelajaran demikian akan menghambat kreativitas
anak. Sistem ebtanas juga melemahkan sekolah, yang berakibat kentalnya budaya
menunggu juknis dan juklak.
c.
Sistem ebtanas juga
berdampak melahirkan kesenjangan antarsekolah yang berada di jawa dan
luar jawa.
d.
Hasil penialaian yang di lakukan tidak relevan dengan kenyataan[2]
karena banyak campur tangan berbagai kepentingan tidak semua daerah / kota siap
terutama SDM – nya.
d.
kompetensi
guru dalam menyusun butir-butir tes
Seorang peneliti menjelaskan mengapa sampai terjadi demikian.
Sebabnya adalah ketidak siapan guru dalam menyusun soal secara baik dan benar.
Guru gagal, merancang, merakit serta menyusun soal. Standar mutu soal yang
setara dengan ebtanas ternyat belom dimiliki oleh guru. Kemampuan itu dapat di
asah melalui pelatihan. Namun, peltihan guru, seminar dan lokakrya pun sering
kali tidak menyentuh hakikat penialain. Kegiatan tersebut sering terjadi juga
karna mengejar target dan proyek. Jadi sosialisai penilain yang seharusnya di
rasakan masih belom propesional di banding dengan sosialisasi kurikulu,
pendekatan metode, dan materi yang esensial. Bahkan , kemudian di kenalkan buku
pengangan guru, pegangan siswa, buku pelengkap dari penerbit- penerbit.
Sebaliknya, hal yang paling mendasar dan
perinsip penilaian sering di abaikan. Hal mendasar itu misalnya bagaimana guru
tidak hanya piawai memberikan materi secara menarik dari buku acuan, tetapi
mahir pula dalam menyusun tes sesuai dengan keperluan. Hal ini yanng belum ada
pada guru.
e.
Peluan
Bagi Pelaksanaan UAN
Peluang bagi pelaksanaan
UAN, secara yuridis memiliki kekuatan hukum, yaitu dengan di tetapkannya SK
mendiknas No. 012/ U/ 2002 yang mengatur tentang sistem penialain SD dan
sederajat.
Peluang lainnya adalah dengan adanya desentralisasi pendidikan dan
dukungan SDM, terutama guru, khususnya kepala sekolah di daerah, dapat di
manfaatkan semaksimal mungkin untuk bersama-sama menyelenggarakan pendidikan di
daerah masing-masing menjadi lebih bermutu.
Peluang berikut yaitu dukungan orang tua, dan masyarakat stakholders
yang tinggi terhadap kebijakan pendidikan harus di manfaatkan, juga
anggaran pendidikan yang saat ini sebesar 20 persen.
f.
Tentang
Bagi Pelaksaan UAN
Tentang bagi pelaksanaan evaluasi pendidikan secara nasional ini,
khususnya berkaitan dengan penialain berdasarkan KBK 2004, adalah :
a.
Moral/
mentalitas birokrasi tingkat pusat , daerah dan sekolah yang tidak berubah
terhadap perbedaan ujian akhir denagn ebtanas.
b.
Mentalitas
guru yang beranggapan ujian akhir sekolah membebani guru sebagai mana penilaian
dalam sistem ebtanas.
c.
Kualitas
SDM guru yang tidak merata antara kota dan desa.
TEMUAN : KONDISI OBJEKTIF
Berdasarkan
pada realitas di lapangan dan analisis SWOT penulis mendapatkan beberapa temuan
sebagi berikut.
1. Selalu terjadi saja kebocoran soal ebtanas, manipulasi koreksi yang
di lakukan oleh oknum korektor ebtanas, serta daftar NEM yang tidak asli.
2. Banyak terjadi penyimpangan dan ebtanas, terutama terjadi di
sekolah-sekolah daerah.
3. Campur tangan daerah pusat masih dominan.
4. Orientasi sekolah hanya mengejar NEM
5. Politisasi ebtanas menjadi alat untuk mengankat sekolah – sekolah
negeri agar terkesan berkualitas dengan menggunakan NEM sebagai seleksi masuk
sekolah selanjutnya.
G.
Isu
Kebijakan Seputar Supervisi Pendidikan
a.
Supervise
Yang Ideal
Dalam
lima tahun terakhirt ini, dalam kaitanya dengan tindakan supervisi, setiap
kepala sekolah dan penilik/pengawas, tida lagi bias sewenang wenag terhadap
guru dan pegawai lainya. Konsep tindakan supervise yang baik perlahan lahan
mulai diterapkan oleh setiap kepala sekolah minimal telah mengantongi
sertifikat kursus/pelatihan manajemen sekolah, bahkan di beberapa pemerintahan
daerah telah ada pula yang disyaratkan memiliki ihjazah S1 manajemen pendidikan
atau administrasi pendidikan. Tindakan supervisi, semakin lama semakin mengarah
pada bentuk supervisi yang lebih professional dan akademik
Burton
dalam purwanto mensyaratkantindakan supervise yang lebih menitik beratkan pada
proses sosial, yaitu adanya kerjasama yang
harmonis antara guru dan supervisor dalam rangka memperbaiki proses
belajar mengajar. Jadi, tidak ada lagi yang menempatkan guru sebagai subjek
pasif. L
Apa
yang dilakukan saat ini oleh sebagiankepala sekolah dalam rangka supervise,
sesuai dengan pikiran burton di atas telah dapat dikatakan tepat. Dalam hal
ini, supervise di arahkan perhatianya pada dasar dasar pendidikan dan cara cara
anak anak belajar dan dan perkembanganya dalam pencapaian tujuan pendidikan
secara umum. Artinya, kepala sekolah adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap pencapaian dan peningkatan mutu di sekolahnya masing masing.
Kepala
sekolah secara terus menerus melakukan perencanaan bersama guru, monitoring dan
supervisi dalam setiap pelaksanaan kegiatan belajar mengajar serta melkukan
evaluasi terhadap kesesuaian antara rencana program dengan pelaksanaan
dilapangan. Setelah itu, kembali membuat rencana programyang terkait secara
bersama sama dengan guru dan seluruh staf.
Kunci
keberhasilan kepala sekolah sebagai supervisi disekolahnya adalah mengusahakan peningkatan
kemampuan para guru dan stafnya untuk secara bersama sama mengembangkan situasi
belajar mengajar yang kondusif[3].
Peningkatan ini hanya dapat dicapai melalui pranko munikasi yang lebih efektif[4]. Komunikasi
yang efektif akan menghilangkan kedwiartian (ambiguitas) antara supervisor danb
yang di supervisi[5].
Jadi, apa yang dilakukan oleh kepala sekolah, selaku supervisor di sekolahnya
masing masing amat di tuntut kemampuan berkomunikasi yang baik, sehingga
peranya tersebut tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan atau menghawatirkan
para guru.
Tidak
demikian halnya dengan supevisiyang dilakukan olehpara penilik dan pengawas,
jabatan pengawas atau supervisor telah menjadi satu dengan mereka selama ini.
Merekalah yang dikenal dalam masyarakat sebagai pengawas/supervisor. Ini
merupakan jabatan yang mereka dapatkan setelah mereka mengabdi selama ini
sebagai kepala sekolah. Ini merupakan jabatan karir yang tertinggi bagi para
guru. Oleh karena itu, jabatan ini terasa sangat pretisius sehingga banyak
diinginkan oleh para mantan kepala sekolah.
Dewasa
ini, jabatan mereka atau supervisor ini telah banyak mengalami perubahan.
Mereka sekarang lebih banyak berperan sebagai kunci, yaitu yang menjadi
perantara antara pemimpin dinas pendidikan wilayah dengan guru guru atau
personaliya lainya. Juga sebagai orang yang ditengah berfungsi sebagai tempat
menumpahkan kepentingan nilai nilai dan orientasi yang berbeda antara pimpinan
dinas pendidikan pada tingkat wilayah dengan para guru guru dan staf lainya.
b.
Analisis
Swot Supervisi
1.
kekuatan;supervise
bukanlah hal yang baru
a.
supervise
bagi kepala sekolah bukanlah hal yang aneh dan baru bagi para kepala
sekolahsetelah zaman kemerdekaan, tugas kompleks kepala sekolah telah menjadi
tuntutan
b.
para
guru menyadari betul bahwa segala usaha yang dilakukan semata mata demi
tercapainya tujuan pembelajaran yang efektif. ke efektifan ini akan
berdampakpada hasil belajar siswa.
c.
kerjasama
yang baik dan harmonis antara kepala sekolah, guru, dan pegawai lainya akan
melancarkan implementasi program pendidikan yang direncanakan bersama.
d.
adanya
pengawasan atau supervise dari dinas pendidikan kabupaten/kota akan membuat
kepala sekolah, guru dan pegawai lainya selalu berada pada kondisi siap
mengerjakan yang terbaik.
2.
Hambatan;
hubunngan atasan bawahan
a.
sering
kali pendekatan kepala sekolah sebagai supervisor didasari atas hubungan atasan
dan bawahan.
b.
masih
adanya sebagian supervisor (penilik/pengawas) dari dinas pendidikan
kabupaten/kota selain bersikap bagai atasan bawahan saat menjalankan tugasnya,
juga ingin dilayani bagaikan raja
c.
sebagai
supervisor hanya menunjukan kesalahan dan kekurangan kinerja kepala sekolah,
gueru, dan staf tanpa berupaya memberikan solusi pemecahan atau memberikan
bagaimana yang seharusnya dan sebaiknya.
3.
Peluang;
kesadaran kepala sekolah dan guru
a.
Fungsi
kepala sekolah sebagai supervisor dalam administrasi pendidikan telah disadari
sepenuhnya oleh kepala sekolah dan telah biasa dijalankan.
b.
Tugas
guru yang utama, baik untuk keperluan diawasi atau tidak selalu mengacu pada perbaikan
hasil belajar siswa.
4.
Tantangan;
mental supervisor
a.
Mental
supervisor yang tidak jujur akan menghambat hasil kemajuan sekolah yang diawasi
karena tidak dipokuskan pada fungsi yang sesungguhnya, melainkan hanya
memikirkan amplop semata
b.
Pola
hubungan atasan bawahan yang dikondisikan sebagai sisa peninggalan orde baru membuat
kinerja kepala sekolah, guru dan staf kurang efektif , selalu merasa dibawah
tekanan.
TEMUAN;
KONDISI OBJEKTIF
Berdasarkan pada latar belakang, tujuan , permasalahanserta realitas
dilapangan, setelah melakukan analisis, dia menemukan beberapa hal penting
sebagai berikut;
1.
Supervise
pada tingkat sekolah amat efektif jika dilangsungkan langsung oleh kepala
seolah
2.
Supervise
akan berjalan baik dengan tercapainya target keberhasilan sebagaimana
direncanakan jika kepala sekolah menjadikan para guru dan pegawai lainya
sebagai mitra kerja
3.
Fungsi
supervise yang dilaksanakan oleh sebagian supervisor (penilik dan pengawas) telah
melenceng dari konsep yang seharusnya sehingga proses pengawasan berjalan tida
efektif
4.
Sebagian
dari para penilik atau pengawas masih senang menggunakan pola kerja atasan
bawahan
5.
Konsekuensi
dari butir ke 4 di atas melahirkan suatu sikap para kepala sekolah guru, dan
parea pegawai lainyayang abs (asal bapak senang)
6.
Supervisor
datang ke sekolah tida tentu waktunya. Di satu sisi hal itu berdampak baik
karena kepala sekolah, guru dan pegawai lainya
selalu siap bersiaga melakukan hal yang terbaik bagi sekolahnya. Akan tetapi,
di sisi lain hal tersebut membuat kalang kabut orang lain karena tujuanya yang
lain
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Isu kebijakan
public sangat penting dibahas untuk membedakan istilah yang dipahami awamdalam
perbincangan sehari hari, yang sering di artikan sebagai kabar burung. isu
dalam sebuah kebijakan memiliki lingkup luas, yang meliputi berbagai persoalan
yang ada ditengah tengah masyarakat. oleh karena itu, memahami konsep isu
sangat membantu para analis untuk menganalisis kebijakan public.
isu kebijakan
public merupakan produk atau dari adanya perdebatan baik tentang perumusan
perincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Dunn (1995)
menyatakan bahwa isu kebijakan tidak hanya mengandung ketidak sepakatan
mengenai arah tindakan yang actual dan potensial, tetapi juga mencerminkan
pertentangan dan pandangan mengenai sifat masalahnya. dengan demikian, isu
kebijakan merupakan hasil perdebatan tentang devinisi, klasipikasi,
eksplanasi, dan evaluasi masalah.
[1] Balitbang Diknas. Op.cit.
[2] Sunandar.loc.cit
[3] Suharsimi Arikunto. Organisasi
dan Administrasi Teknologi Kejuruan. (Jakarta: Depdikbud, 1998)
[4] Stephen Robbin .Perilaku
Organisasi (Jakarta: Preshindo.1997)
[5] Sudiyono. “Peran Komunikasi bagi Supervisor”. Jurnal Ecccopesion.
(Malang : Yayasan Pegupon ) tahun 7 No 1 Juli 1998 hlm, 52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar