Senin, 02 Oktober 2017

Pengembangan Budaya Organisasi

BAB II
PEMBAHASAN
1.             Pengembangan dan Perubahan Organisasi
a.             Pengembangan Organisasi
Menurut Winardi (2014;205) dalam artinya yang paling umum, pengembangan organisasi merupakan upaya untuk memperbaiki efektivitas menyeluruh suatu organisasi. Pengembangan organisasi merupakan upaya jangka panjang guna memperbaiki proses proses pemecahan masalah dan pembaharuan suatu organisasi, terutama melalui manajemen kultur organisasi yang lebih efektif, serta lebih kolaboratif, terhadap tim tim kerja formal. hal tersebut bisa dilakukan dengan seorang agen perubahan atau katalis, dan penggunaan teori serta teknologi ilmu behavioral terpakai, termasuk yang didalamnya action research.
Apabila kita ingin memahami dan melakukan pengembangan organisasi maka kita perlu melakukan hal-hal sebagai berikut;
1)             Upaya jangka panjang
Upaya jangka panjang mengingat bahwa seluruh organisasi merupakan pusat perhatian bagi perubahan, maka perbaikan perbaikan tida mungkin terjadi dalam satu mala. dalam kondisi tertentu, tidak mungkin menyelenggarakan perubahan dalam jangka pendek. maka diperlukan hal_hal berikut
a)             Upaya perubahan tersebut perlu di arahkan terhadap sebagian kecil organisasi yang bersangkutan.
b)             Pengaruh faktor eksternal harus demikian besar, hingga ia dapat mengatasi setiap penolakan normal terhadap perusahaan. contoh dalam kondisi krsis moneter banyak PHK terjadi, dan gaji dari sebagian karyawan diturunkan.
2)             Pemecahan problem dan proses proses pembaharuan
Dengan apa organisasi mengadaptasi diri dan memanfaatkan perubahan perubahan internal dan eksternal, dapat berupa proses pemecahan masalah atau proses perubahan. pada proses pemecahan masalah,keputusan-keputusan di ambil guna memecahkan problem-problem sepesifik yang dihadapi oleh organisasi yang bersangkutan. pada proses kedua jga di ambil keputusan-keputusan khusus. akan tetapi, titik berat disini adalah pada tindakan menciptakan bauran tepatdari unsur unsur personil, uang dan bahan-bahan untuk ketahanan organisasi yang bersangkutan. maka dapat dikatakan bahwa proses-proses mebaharuan merupakan cara-cara dengan apa, kehidupan di injeksi ke dalam organisasi yang bersangkutan.
3)             Manajemen kolaboratif
Sebaliknya jika dibandingkan dengan setruktur manajemen tradisional, berupa perintah perintah dikeluarkan pada tingkat-tingkat tinggi dan dilaksanakan oleh tingkat yang lebih rendah, pengenmbangan organisasi menekankan usaha kerja sama kolaborasi) antar berbagai tingkat sebelum mengambil keputusan. organisasi-organisasi di pandang dari sudut kontek sistem yang mengakui adanya kualitas berganda, dan antar hubungan antara subsiste-subsistem keorganisasian.
4)             Kultur organisasi
Kultur organisasi kencakup hal-hal sebagai berikut; (a) Pola-pola perilaku yang diterima dan dan di akui; (b) Norma-norma; (c) Sasaran keorganisasian; (d) Sistem-sistem nilai; dan (e) Teknologi yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa.
Singkatnya, semua faktor yang memungkinkan kita untuk mendiferensiasi organisasi yang satu dengan organisasi yang lain. kultur suatu organisasi perlu dipahami oleh pihak manajemen dan bawahan sehingga dapat dikembangkan pemecahan pemecahan yang konsisten dengan kultur tersebut.
b.             Perubahan Organisasi
Organisasi dapat diartikan dua macam yaitu (1) dalam arti statis,organisasi sebagai wadah kerja sama sekelompok orang yang bekerja sama,untuk mencapai tujian tertentu.(2) dalam arti dinamis, organisasi sebagai suatu sistem atau kegiatan sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Herbert G. hicks & G. Ray gullet (1989:642) Perubahan memiliki suatu penempatan yang penting dalam pengkajian kelangsungan hidup organisasi. Suatu jenis perubahan yang benar memungkinkan suatu organisasi untuk memelihara kelangsungan hidupnya dalam perubahan lingkungannya.
Perubahan pada suatu organisasi yang memperbaikin penyesuaian dapat menjadikan beberapa golongan perubahan sebagai berikut: (1) perubahan teknologis, termasuk produk baru dan proses baru; (2) perubahan struktural termasuk kebijaksanaan baru atau prosedur; (3) perubahan manusia termasuk cara-cara pengangkatan yang baru.Tidak ada diantara ketiganya ini yang paling penting, anggapan atau perhitungan apapun merupakan campuran keseluruhnya.
Tahap pelaksanaan gagasan tentang penyesuaian tersebut menggambarkan masih seringnya dapat dilihat dalam organisasi yang mengadakan perubahan-perubahan dalam oprasinya setelah mengalami hasil-hasil yang tidak memuaskan. Dalam kasus yang ekstrim manajemen yang lama dapat dihentikan dengan persetujuan para manajamen baru dengan gagasan baru.Jelasnya, peremajaan lagi-lagi sering diperlukan. “Hanya kepahitan awal yang dapat mencegah peruntuhan. Dan hal itu haruslah terjadi, jika kita memang mengharapkan untuk bertahan selama mungkin, suatu kelangsungan yang mengulang-ulang pembaruan untuk menghapuskan kekambuhan yang mendorong pada kematian.
Dalam beberapa kasus suatu organisasi sebenarnya dapat mempengaruhi atau menguasai lingkungannya.Selanjutnya dapat mengendalikan lingkungan tersebut secara sedemikian rupa untuk melestarikan wujudnya sendiri untuk jangka waktu yang tidak terbatas,sungguhpun hal tersebut mungkin merupakan sumbangan kecil kepada lingkungannya.Keadaan demikian dapat ditemukan dalam pemerintahan yang sewenang-wenang dan daklam mempertahankan kepentingan tetap dengan mengenguasai proses pengambilan keputusan.
Menurut Winardi (2014:191) secara umum dapat dikatakan bahwa organisasi-organisasi yang gagal melaksanakan perubahan akan semakin terpuruk restrukturisasi dan tindakan memPHK para karyawan akan dirasakan amat berat bagi mereka yang mengalaminya. situasi dan kondisi moneter dewasa ini memaksa sejumblah perusahaan dan organisasi-organisasi menutup usaha mereka. Mereka yang masih bertahan pun terpaksa melaksanakan tindakan mengurangi karyawan mereka yang di anggap tidak perlu.
Tidak mengherankan bahwa karyawan rata-rata dewasa ini sangat cemas terjadinya perubahan-perubahan di tempat kerja mereka. Kondisi demikian menandakan bahwa perekonomian Indonesia sudah mulai memasuki tahapan depresi, dengan ciri-ciri stagflasi (inflasi yang diestimasi oleh pemerintah untuk tahun budget 1998-1999 adalah sebesar20% dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesat 0%). Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan perubahan setrategis untuk mempertahankan organisasi. Menurut winardi (2014:194) perubahan perubahan setrategis mengubah bentuk umum atau arah organisasi yang bersangkutan. sebagai contoh dapat dikatakan babhwa tindakan menambah poeg kerja malam (nighy shift) untuk menghadapi permintaan yang tidak  diduga meniingkat terhadap produk peruhasaan, merupakan sebuah perubahan inrumental. sebuah peruhasan pembangun rumah ke kompleks-kompleks apartemen bertingkat, merupakan sebuah perubahan setrategis.
Dalam model nedler_tushman tentang perubahan keorganisasian terdapat empat macam tipe yaitu:
1)             Perubahan terus menerus
Perubahan terus menerus ini merupakan tipe perubahan yang beresiko paling kecil, yang bersifat paling kurang intens dan yang paling umum. nama nama lain untuknya mencakup intilah pemeiharaanpreventif dan konsep jepang kaizen . (perbaikan perbaikan terus menerus
2)             Adaptasi (adaptations)
Adaptasi merupakan perubahan perubahan ikrumental. akan tetapi kini perubahan perubahan yang terjadi perupa reaksi terhadap problem problem eksternal, kejadian-kejadian, atau tekanan tekanan yang dihadapi organisasi yang bersangkutan. sewaktu perusahaan mobil pord mencapai sukses luarbiasa dengan gaya aerodinamiknya, maka perusahan general motor dan Chrysler dengan cepat menirunya.
3)             Reorientasi
Tipe perubahan ini bersifat antisifatoris dan skopnya adalah strategis. Nedler dan Tushman yang di kutip oleh Winardi ()2014;195) menamakan reorientasi mengubah frame (frame banding) karena organisasi yang bersangkutan secara signifikan diubah.
4)             Re-kreasi (rekreations)
Tekanan_tekanan kompetitif normal menyebabkan timbulnya tipe perubahan keorganisasian demikian yang bersifat lebih intens dan penuh resiko.
2.             Budaya Organisasi
Menurut Syaiful Sagala (2013:111) Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara manusia hidup, belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya.
Budaya dalam hal ini merupakan tingkah laku dan gejala sosial yang menggambarkan identitas dan citra suatu masyarakat. Setiap orang terlibat dalam proses perubahan nilai dan budaya. Budaya eksis karena ada pelakunya yang disebut pelaku budaya. Organisasi mempunyai budaya sendiri yang terbentuk dari karakteristik organisasi sebagai objek dan subjeknya. Budaya organisasi adalah suatu sistem nilai atau apa yang dinilai penting dan kepercayaan (bagaimana sesuatu berjalan) yang membentuk orang-orang dalam organisasi, struktur organisasi, dan sistem pengendalian organisasi untuk memproduksi norma-norma keyakinan untuk melakukan segala sesuatu dalam organisasi.
Budaya organisasi dibangun oleh para anggaota organisasi dengan mengacu kepada etika dan sistem nilai yang berkembang dalam organisasi, dan pemberian hak kepada anggota dan pimpinan, dan dipengaruhi oleh struktur yang berlaku dalam organisasi tersebut.
Asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi adalah budaya organisasi merupakan suatu sistem pengertian yang diterima secara bersama, dimana praktek-praktek yang telah berkembang dan menjadi identitas sejak beberapa lama dalam organisasi. Budaya organisasi mengimplikasikan adanya karakteristik tertentu yang berhubungan erat dan interdependen, karena itu perlu diperinci karakteristik budaya organisasi, jangan sampai terjebak pada pengertian budaya sebagai milieu yang abstrak.
Dalam setiap organisasi ada sistem nilai sebagai gambaran budaya organisasi, hal ini menunjukkan organisasi dibentuk oleh sistem nilainya. Sistem nilai organisasi dipengaruhi oleh budaya individu yang ada dalam organisasi. Derajat pengaruh budaya dalam situasi-situasi komunikasi antar unit organisasi ditunjukkan pada model perubahan yang terlihat dalam kegiatan organisasi dan kegiatan individu dalam organisasi. Dari uraian tersebut menggambarkan bahwa organisasi pendidikan pada pemerintah kabupaten/kota (Dinas Pendidikan) tentu saja akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai dan budaya birokrasi dan budaya masyarakat yang berinteraksi dengan pendekatan sistem yang berlaku dalam organisasi. Karena itu, efisiensi dan keefektifan organisasi akan dipengaruhi oleh budaya kerja, budaya berpikir, budaya mutu, dan keinginan untuk lebih baik baik setiap anggota organisasi.
1.             Budaya Birokrasi Pendidikan
Interaksi sehari-hari para pegawai di kantor Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota menurut penelitian Sagala (2003) menggambarkan bahwa orang yang lebih muda harus menghormati orang yang lebih tua, orang yang tidak punya jabatan harus menghormati orang-orang yang menduduki jabatan, semakin tinggi jabatan seseorang semakin tinggi pula perlakuan rasa hormat yang diterimanya dari bawahan. Para pegawai sebagai bawahan lebih baik tidak melakukan kritik untuk menjaga kerukunan. Tetapi menjaga keutuhan hormat dan rukun ini cenderung dibebankan kepada pegawai pelaksana dan pejabat pada tingkat rendah yang menduduki posisi bawahan (sub ordinasi) dari kekuasaan pejabat birokrasi yang menempati posisi yang tinggi.
Budaya senioritas dan usia serta kedudukan jabatan yang tinggi memainkan peranan penting dalam segala hubungan organisasi dimana nilai-nilai, dan interaksi-interaksi yang muncul di tempat kerja adalah cara kerja birokrasi yang kaku dan kompleks. Sudah menjadi kepercayaan umum bagi para pegawai pelaksana dan pejabat tingkat rendah yang menduduki posisi bawahan, bahwa kritik terbuka terhadap berbagai kebijakan pimpinan puncak dipandang sebagai hal yang tidak benar. Kritik-kritik yang gencar dan bersifat terbuka terhadap berbagai keputusan tidaklah umum karena dapat menggangu stabilitas. Hal yang demikian ini menjadi budaya dalam organisasi pada dinas pendidikan maupun organisasi satuan pendidikan. Organisasi ini, cenderung mencerminkan budaya dan perilaku birokritas, masih jauh dari budaya pemberdayaan personel sesuai kapasitasnya. Tidak ada perlakuan berbeda untuk guru berkinerja baik dengan yang tidak, khususnya untuk penugasan dan kenaikan pangkat.
Dari hasil penelitian ini menggambarkan bahwa secara umum budaya para pegawai Dinas Pendidikan dalam melaksanakan tugasnya atas dasar instruksi atasan dan atau ada permintaan masyarakat yang dapat diberikan atas persetujuan atasan dan aturan yang berlaku. Nilai-nilai, dan interaksi-interaksi yang muncul di tempat kerja dalam membangun jaringan hubungan cenderung didasarkan latar belakang koneksi yang ditandai patternalisme yang kuat, senioritas dan usia serta kedudukan jabatan yang tinggi memainkan peranan cukup penting dalam segala hubungan organisasi. Pada dasarnya, dilihat dari budaya kerja pada bidang pendidikan di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota memberikan pelayanan penyelenggaraan sekolah masih cenderung sama dengan sebelum implementasi kebijakan otonomi daerah yaitu hierarkis birokratis.   
2.             Budaya Organisasi Sekolah
Penelitian Bank Dunia (2004) mengungkapkan bahwa Indonesia mempunyai staf pada kantor-kantor pendidikan yang terlalu banyak, sebagian besar tidak terlatih untuk bekerja di dalam sistem desentralisasi. Banyak diantara pegawai pada pemerintah daerah mempunyai skill yang rendah. Di lain pihak untuk mendukung manajemen sekolah dasar (SD) tidak didukung tenaga administrasi (tata usaha) sebagai supporting system organisasi sekolah. Peralatan untuk melaksanakan kegiatan admnistrasi seperti mesin tik dan computer di sejumlah SD di Indonesia tidak tersedia khususnya SD yang berada di pedesaan. Hal ini bukan saja mengkonsumsi atau menggunakan sumber-sumber dengan sia-sia tapi juga menciptakan kelompok kepentingan yang menyatu, yang memiliki dorongan untuk melestarikan kebiasaan-kebiasaan sebagaimana mereka menjalankannya selama ini. Inilah masalah serius budaya organisasi yang mesti dihadapi. Ukuran atau jumlah pegawai birokrasi bukanlah sekadar merupakan problem teknis, tapi juga merupakan masalah yang secara politis bisa memperlambat desentralisasi. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya komponen birokrasi pendidikan yang rumit dan kompleks di provinsi dan kabupaten/kota akan memberi implikasi sempitnya ruang pemberdayaan manajemen pembelajaran di sekolah.
Sebenarnya budaya dapat diubah, tetapi diperlukan beberapa kondisi untuk melakukan perubahan tersebut. Pada kondisi yang menguntungkan sekalipun para manajer tidak dapat mengharapkan bahwa nilai-nilai budaya yang baru akan diterima dengan cepat seperti penerapan manajemen berbasis sekolah, kurikulum berbasis kompetensi, kurikulum tingkat satuan pendidikan, model pembelajaran contextual teaching and learning, penilaian model portopolio, memberi akses yang lebih luas atas peran serta masyarakat, dan sebagainya. Semua ini adalah perubahan budaya dalam manajemen sekolah yang tidak mudah diterima oleh kepala sekolah, guru, orang tua siswa, dan masyarakat sekitar sekolah.
Perubahan budaya memang harus dihitung dalam jangka waktu tahunan bukan bulanan, karena proses pembudayaan dalam waktu yang singkat sulit menafsirkan makna dan menyimpulkannya untuk menentukan budaya atau sistem nilai yang dianut suatu organisasi. Implementasi model manajemen berbasis sekolah, dan model pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan merupakan budaya baru bagi sekolah. Secara tipikal budaya organisasi sekolah diterapkan dengan orientasi-orientasi bersama, yang menyatukan berbagai bidang keahlian dan kedudukan personel organisasi sekolah dalam satu sistem nilai pada tingkat kedalaman yang berbeda dan memberinya identitas yang berbeda. Sehingga organisasi sekolah mempunyai kepribadian sebagai suatu sistem yang diterima secara bersama, yang seharusnya menghasilkan organisasi sekolah yang efektif mempunyai budaya mutu yang kuat dan berbeda yaitu kompetitif.
Disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah suatu sistem nilai dari makna bersama (shared meaning) yang menekankan pentingnya norma-norma kelompok kerja, sentimen-sentimen, nilai-nilai, dan interaksi-interaksi yang muncul di tempat kerja pada saat mereka menggambarkan sifat dan fungsi-fungsi organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Dengan demikian konsep budaya organisasi pendidikan baik pada tatar birokrasi pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota maupun organisasi satuan pendidikan (sekolah) pada semua jenjang dan jenis adalah suatu perspesi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu. Jika personel yang berada pada Dinas Pendidikan dan juga yang berada di sekolah memandang sistem nilai yang dikembangkan adalah budaya birokratis, maka pola kerja dan interaksi pada organisasi tersebut adalah budaya birokratis. Meskipun budaya birokratis ini sudah terbukti tidak mampu menjadikan organisasi lebih kompetitif bagi organisasi pendidikan, dan ini disadari oleh para personelnya. Tetapi untuk merubahnya menjadi organisasi yang memberdayakan potensi sumber daya manusianya dan potensi sumber-sumber lainnya dalam organisasi bukanlah pekerjaan yang mudah.
3.             Budaya dan Iklim Organisasi
Iklim tidak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan dan dapat mempengaruhi perilaku dalam organisasi. Iklim organisasi dapat menyenangkan dapat pula tidak menyenangkan, oleh karena iklim organisasi dibangun melalui kegiatan dan mempunya akibat atau dampak bagi organisasi. Jadi, iklim organisasi adalah serangkaian sifat lingkungan kerja, yang dinilai langsung atau tidak langsung oleh karyawan yang dianggap menjadi kekuatan utama dalam mempengaruhi perilaku karyawan. Iklim organisasi suatu terminologi yang luas mengacu pada persepsi anggota organisasi terhadap lingkungan kerjanya secara umum. Hal ini dipengaruhi oleh organisasi formal, organisasi informal, kepribadian partisipan, dan kepemimpinan organisasi. Pengaruh interaksi iklim organisasi berhubungan secara simultan dengan struktur dan proses-proses interaksi. Dalam organisasi pendidikan ada interaksi kepala sekolah dengan kepala dinas pendidikan berkaitan dengan dukungan program sekolah, interaksi kepala sekolah dengan guru, dan guru dengan murid dalam proses pembelajaran.
Interaksi tersebut dilakukan dalam melakukan pekerjaan untuk mencapai visi dan misi organisasi. Pola-pola interaksi ini tampak pada proses interaksi dan berkonsultasi tentang perubahan dan bagaimana prosesnya, bentuk supervise yang dapat menjamin kualitas kinerja, dan pekerja mengetahui apa yang dianggap penting sebagai akibat yang diharapkan. Pengelompokkan ciri-ciri internal yang ingin dicapai oleh organisasi dari pengaruh-pengaruh lain terhadap tingkah laku anggota merupakan suatu iklim organisasi. Jadi dimensi iklim organisasi menunjukkan adanya rasa tanggungjawab, standar atau harapan tentang kualitas pekerjaan, reward yang diperoleh sebagai pengakuan terhadap prestasi, saling mendukung dalam melaksanakan pekerjaan, dan semangat yang kuat dalam tim kerja.
Perilaku masing-masing iklim dapat disketsakan, untuk menggambarkan iklim organisasi pada dua ekstrimitas yaitu iklim terbuka dan tertutup. Iklim terbuka adalah keyakinan yang memiliki derajat kepercayaan dan semangat yang tinggi dan rendahnya perlawanan. Dalam melaksanakan tugas organisasi dan kepuasan sosial, secara terbuka tidak memberikan kesempatan eksklusif. Tetapi timbul secara bebas, yaitu adanya kreativitas dan inovasi dari masing-masing anggota untuk menghasilkan yang terbaik. Sedangkan iklim tertutup adalah kebalikandari iklim terbuka. Arah dan semangat iklim tertutup adalah rendah sedangkan disengagement tinggi, pimpinan dan anggota organisasi memiliki gerakan yang sempit menekankan pada hal-hal yang rutin, berkutat pada hal-hal yang sepele, sibuk pada hal-hal yang tidak penting dan tidak menunjukkan sedikitpun suatu kepuasan.
Kepemimpinan pada iklim tertutup menunjukkan supervisi tertutup (berorientasi pada hasil), ketat terhadap pernyataan-pernyataan formal (kaku), dan impersonality (gampang tersinggung). Ketidakmampuan pemimpin dalam iklim tertutup ini memperhatikan dinamika personal dengan memberi contoh, taktik membimbing yang salah, dan sedikit sekali keikhlasan, sehingga menghasilkan anggota organisasi yang frustrasi dan apatis. Organisasi sekolah tidak bolehdiurus dengan iklim tertutup, kepala sekolah harus membuka ruang yang seluas-luasnya bagi guru, siswa, dan orang tua siswa untuk merumuskan bersama Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) yang kemudian secara detail dituangkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS), sebaliknya para guru tidak apatis atau tidak peduli tentang kebijakan sekolah, para guru harus berusaha untuk ikut merumuskan kebijakan sekolah.
Sedangkan orang tua siswa yang paling tahu kebutuhan anak-anaknya, juga harus ikut berpartisipasi memberikan pokok-pokok pikirannya berkontribusi menentukan kebijakan sekolah sesuai kapasitas masing-masing. Dokumen RAPBS bukanlah sesuatu yang amat penting, tetapi proses tersusunnya  RAPBS menjadi dokumen itulah yang penting. Dengan demikian iklim organisasi apakah terbuka atau tertutup, adalah gambaran dari persepsi anggota ditampakkan pada performansi personel, melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Kombinasi tersebut mengharapkan suatu iklim dalam prinsip dan kekuasaan sejati dalam tingkah laku organisasi.
Iklim organisasi dipengaruhi oleh budaya organisasi yang berkembang di dalamnya. Hal ini sejalan dengan pandangan DeRoche (1987) yang menyatakan bahwa budaya organisasi mempunyai keterkaitan atau hubungan dengan iklim organisasi. Keterkaitannya diandaikan budaya sebagai baterai (battery) dan iklim sebagai pabrik nuklir (nuclear plant). Dengan demikian iklim organisasi (yang diandaikan pabrik nuklir) dipengaruhi oleh budaya (yang diandaikan baterai) yang berlaku dalam organisasi (Hendyat Soetopo, 2012:15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar